Berani Di Jalan Dakwah
27/5/2008 | 22 Jumada al-Ula 1429 H | Hits: 4.156
Oleh: Tim dakwatuna.com
dakwatuna.com
– Kehidupan dunia ini diiringi kesulitan demi kesulitan (Al Balad: 4).
Sehingga, kesulitan adalah sesuatu yang tak bisa dielakkan. Itu realita
perjalanan dunia ini. Kesulitan menjadi risiko hidup. Tak seorang pun
yang lepas dari kenyataan itu. Namun yang acapkali terjadi adalah takut
terhadap risiko yang bakal muncul lantaran kekerdilan jiwa untuk
menghadapinya. Lalu timbullah ketakutan-ketakutan. Rasa ketakutan ini
cuma menggiring seseorang menjadi pengecut. Dan akhirnya lari dari
kenyataan.
Sifat
pengecut dipandang sebagai sifat tercela yang tidak boleh dimiliki
orang-orang yang beriman. Karena pengecut artinya ia tidak mau
menanggung dan menghadapi risiko yang memang sudah menjadi
konsekuensinya. Perilaku ini merupakan perilaku orang-orang yang
setengah hati dalam keimanan, hanya ingin serba enak tanpa harus
bersusah payah menghadapi masalah rumit. Sifat pengecut akan menjadi
penghalang untuk maju dan pemberat langkah kesuksesan.
Saat
ini dunia dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki sifat pengecut.
Sebuah hadits Nabi saw. memprediksikan di suatu masa umat Islam akan
menjadi bulan-bulanan dan santapan empuk musuh-musuh Islam karena sudah
mengidap penyakit wahn, yakni cinta dunia dan takut mati.
Memang, penyakit wahn-lah yang menyebabkan umat Islam banyak yang
menjadi pengecut sehingga tidak lagi disegani oleh musuh-musuhnya yakni
kaum kafir, musyrikin dan munafikin.
Islam
memandang hina orang yang pengecut. Baik pengecut untuk mempertahankan
hidup sehingga gampang putus asa. Pengecut lantaran takut dikucilkan
dari komunitasnya. Pengecut karena berlainan dengan sikap banyak orang.
Atau pengecut untuk membela sebuah nilai. Kemudian menjerumuskan
pelakunya pada sikap yang plin-plan tanpa prinsip. Rasulullah saw.
bersabda, “Janganlah kamu menjadi orang yang tidak punyai sikap.
Bila orang melakukan kebaikan maka aku pun melakukannya. Namun bila
orang melakukan keburukan maka aku pun ikut melakukannya juga. Akan
tetapi jadilah orang yang punya sikap dan keberanian. Jika orang
melakukan kebaikan maka aku melakukannya. Namun jika orang melakukan
keburukan maka aku tinggalkan sikap buruk mereka.” (Tirmidzi)
Allah
swt. selalu menggelorakan orang-orang yang beriman agar jangan takut,
jangan pengecut. Karena rasa takut akan membawa kegagalan dan kekalahan.
Akan tetapi keberanian menjadi seruan yang terus berulang-ulang
dikumandangkan. Karena keberanian adalah tuntutan keimanan. Iman pada
Allah swt. mengajarkan menjadi orang-orang yang berani menghadapi
beragam risiko dalam hidup ini terlebih lagi, risiko dalam
memperjuangkan dakwah ini.
Syaja’ah
atau keberanian merupakan jalan untuk mewujudkan sebuah kemenangan dan
sebagai izzah keimanan. Tak pernah boleh ada, kata gentar bagi kader
dakwah saat mengemban tugas bila ingin meraih kegemilangan. Dari sisi
inilah kaum yang beriman berada jauh di atas kebanyakan orang. Karena
izzah keimanan menuntun mereka untuk tidak takut dan gentar sedikitpun.
“Janganlah
kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal
kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu
orang-orang yang beriman”. (Ali Imran: 139)
Dahulu
yang membuat gentar musuh-musuh Islam adalah keberanian pejuang-pejuang
Islam yang menghambur ke medan perang dengan suka cita karena
pilihannya sama-sama baik yakni hidup mulia dengan meraih kemenangan
atau mati syahid di jalan Allah. Bahkan mereka jauh mencintai kemuliaan
sebagai syahid sebagaimana kecintaan kaum kafir terhadap dunia. Dengan
sikap ini kaum muslimin banyak memperoleh anugerah kemenangan dakwah di
berbagai tempat.
Orang-orang
kafir amat takut terhadap orang-orang yang beriman yang memiliki
prinsip ini. Sehingga mereka berupaya agar sifat berani tidak bersemayam
dalam diri orang-orang mukmin. Lalu mereka takut-takuti kaum muslimin
dengan situasi dan kondisi masa depan yang suram, ancaman, teror,
intimidasi atau tekanan-tekanan lainnya agar umat ini tidak lagi berani
memperjuangkan nilai dan norma yang diyakininya. Akhirnya timbullah
sikap takut yang luar biasa hingga melemahkan semangat juangnya.
Oleh
karena itu jangan tertipu oleh upaya orang-orang kafir untuk
menghilangkan sifat syaja’ah. Sebab syaja’ah merupakan harga diri
orang-orang beriman. Lantaran sifat itu sebulan sebelum kedatangan kaum
muslimin orang-orang di Babylonia telah lari tunggang langgang mendengar
umat Islam akan tiba di negeri mereka. Sampai-sampai Khalid bin Walid
r.a. menenangkan masyarakat Romawi agar tidak perlu teramat takut pada
kaum muslimin karena kedatangan umat Islam hanya untuk menyerukan Islam
dan mengajak mereka menghamba pada Allah swt. semata.
Asy syaja’ah (keberanian) menjadi salah satu ciri yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah, selain ciri-ciri berupa al-ithmi’nan (ketenangan) dan at-tafaul (optimisme).
Dengan demikian orang yang istiqamahlah akan senantiasa berani, tenang
dan optimis karena yakin berada di jalan yang benar dan yakin pula akan
dekatnya pertolongan Allah. Namun memang tak mudah untuk menjadi orang
yang istiqamah atau teguh pendirian memegang nilai-nilai kebenaran dan
senantiasa berada di jalan Allah. Bahkan Rasulullah saw. mengatakan
bahwa turunnya surat Hud membuat beliau beruban karena di dalamnya ada
ayat (Huud: 112) yang memerintahkan untuk beristiqamah, “Maka
tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu
dan (juga) orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.“
Rasulullah
saw. memahami benar makna istiqamah yang sesungguhnya sampai ketika Abu
Sufyan bertanya hal terpenting apa dalam Islam yang membuatnya tak
perlu bertanya lagi, beliau menjawab, “Berimanlah kepada Allah dan kemudian beristiqamahlah (terhadap yang kau imani tersebut).” (Bukhari). Di
kesempatan lain, Rasulullah saw. juga mengatakan tantangan buat orang
yang istiqamah memegang Islam di akhir zaman, begitu berat laksana
menggenggam bara api.
Keberanian
untuk tetap istiqamah walau nyawa taruhannya nampak pada diri
orang-orang beriman di dalam surat Al-Buruuj: 4-8 yang dimasukkan ke
dalam parit dan dibakar oleh as-habul ukhdud hanya karena
mereka menyatakan keimanannya kepada Allah swt. Begitu pula Asiah, istri
Firaun dan Masyitah, pelayan Firaun, kedua-duanya harus menebus
keimanan mereka kepada Allah dengan nyawa mereka. Asiah di tiang
penyiksaannya dan Masyitah di kuali panas mendidih beserta seluruh
keluarganya karena mereka berdua tak sudi mentuhankan Firaun. Demikian
sulitnya untuk mempertahankan keistiqamahan di jalan Allah, dan demikian
sulit pula untuk mewujudkan asy syaja’ah sebagai salah satu aspeknya.
Muthallibatu Ad Da’wah (Tuntutan Dakwah)
Dalam mengusung amanah dakwah, slogan ‘Jangan pernah takut, Maju pantang mundur, Berani karena benar, rela mati demi kebenaran’
tidak boleh luntur melainkan harus tetap terpatri dalam sanubari kader
dakwah. Melekatnya doktrin itu, membuat kader dakwah tidak akan lari ke
belakang demi kemenangan dakwah ini. Karena asy syaja’ah (keberanian)
mengemban amanah umat merupakan tuntutan dakwah.
Manakala
Allah swt. berbicara tentang penyelamatan dakwah, maka aspek asy
syaja’ah ini yang selalu disebut-sebut oleh-Nya. Sebagaimana dalam
At-Taubah: 40, ‘Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka
sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir
(musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang
dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata
kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah
beserta kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad)
dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah
menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat
Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’
Di
samping itu sikap syaja’ah para kader menjadi sebab dakwah
berkesimbungan di muka bumi ini. Dengannya dakwah ini berjalan terus
sekalipun harus melewati bukit terjal ataupun tembok besar. Berisiko
berat ataupun ringan. Dengan keberanian para pejuang dakwah, ajaran
Islam ini merambah ke berbagai pelosok dunia bahkan sampai pada diri
kita saat ini. Padahal bila dilihat tantangan dan rintangan yang
dihadapi sangat berat. Tantangan alam, geografis, budaya, maupun
rintangan dari musuh-musuh dakwah. Tanpa keberanian mereka, perjalanan
dakwah ini akan tertatih-tatih lantaran ketakutan yang melemahkan gerak
dakwah ini.
Da’aimu Asy Syaja’ah (Pilar Keberanian)
Karena
sikap asy-syaja’ah merupakan tuntutan dakwah maka para kader mesti
selalu memompa dan menopang keberaniannya agar kata takut dan pengecut
tidak lagi melekat dalam dirinya. Takut dan pengecut tidak boleh ada
dalam memperjuangkan dakwah. Adapun pilar-pilar yang menghantarkan diri
seorang kader memiliki sifat asy-syaja’ah adalah hal-hal berikut ini:
1. Al Iman bil Ghaib (Iman Dengan Yang Ghaib)
Penopang
yang amat kokoh untuk menguatkan sikap asy-syaja’ah dalam diri kader
dakwah adalah memperkuat keyakinannya akan hal-hal yang ghaib. Seperti
yakin akan pertolongan Allah swt. Yakin akan malaikat-malaikat-Nya yang
senantiasa membantu orang yang memperjuangkan agama Allah swt. Begitu
pula yakin akan kehidupan akhirat yang ditentukan oleh amaliyah kita di
dunia ini, khususnya amal-amal dakwah.
Keyakinan
pada hal yang ghaib memunculkan sikap berani, tak takut terhadap apa
yang terjadi. Karena semua yang bakal terjadi telah menjadi ketentuan
dalam kehidupan seseorang. Ia merupakan takdir yang telah ditetapkan.
Sebagaimana pengalaman nyata yang menarik dari seorang kader dakwah yang
diancam atas perjuangannya selama ini. Tatkala di atas kepalanya
ditodongkan pistol. Lalu sang algojo mengatakan, ‘Mana Tuhanmu, Apakah
ia bisa menyelamatkan kamu kalau pelatuk pistol ini kugerakkan. Dan
hancurlah batok kepalamu berkeping-keping. Jawab sang aktivis, Bila
Tuhanku tidak mengizinkan pistol itu meledak maka aku tidak akan mati.
Atau kalaupun pistol itu meledak namun Tuhanku tidak menetapkan aku mati
maka aku pun tidak akan mati’. Jawaban ini sebagai jawaban atas
keyakinan pada Yang Ghaib, yakni Allah swt.
Keyakinan
semacam ini adalah buah dari tarbiyah yag telah menanamkan rasa takut
hanya pada Allah swt. dan senantiasa bergantung pada-Nya. Sehingga kader
memiliki cantolan yang teramat kuat. Lantaran pegangan dirinya kepada
yang Maha Kuat ia tidak pernah mundur menghadapi cobaan dan rintangan
dakwah. Demikianlah hasil dari proses tarbiyah yang panjang, membina
aktivis untuk senantiasa yakin dengan sebenar-benarnya pada kekuatan
yang Ghaib.
Rasulullah
saw. telah mengingatkan Abu Bakar r.a. akan keyakinan pada Rabbul
Izzati. Di saat orang-orang kafir sudah berada di Gua Tsur ingin
membunuhnya. Abu Bakar hingga mencemaskan, “Ya Rasulullah, sekiranya
salah satu dari mereka melihat betisnya maka mereka pasti akan melihat
kita.” Nabi saw. menenangkannya dengan menyatakan, “Duhai Abu Bakar,
apakah kamu mengira kita di sini cuma berdua. Tidak, Abu Bakar. Kita di
sini bertiga. Janganlah takut dan gentar, Allah bersama kita.”
Karenanya
jiwa para kader tidak boleh luput untuk selalu berinteraksi pada Allah
swt. agar dikuatkan diri dan jiwa dalam memperjuangkan dakwah. Karena
kemenangan para pejuang dakwah bukan ditentukan oleh kekuatan material
melainkan kekuatan dari Yang Maha Perkasa.
2. Al Mujahadah Ala Al Khauf (Menaklukkan Rasa Takut)
Rasa
takut sebagai lawan dari asy syaja’ah memang amat manusiawi. Kenyataan
ini merupakan watak alamiyah yang dimiliki setiap insan. Seperti takut
terbakar, tenggelam, terjatuh di mangsa binatang buas dan lain
sebagainya. Namun rasa takut semacam itu harus berada di bawah khauf syar’i yakni
takut kepada Allah swt. Sehingga setiap kader dakwah sepatutnya
menaklukkan rasa takut thabi’inya dengan mengkedepankan rasa takut
kepada Rabbbul Izzati. Dengan begitu mereka akan ringan dalam
memperjuangkan dakwah, tidak maju mundur lantaran ketakutan-ketakutan
yang ada pada dirinya.
Hal
tersebut secara indah dan heroik terlihat gamblang pada kisah Nabi Musa
a.s., Ibrahim a.s., dan Muhammad saw. Rasa takut pada kemungkinan
tenggelam ke laut merah teratasi oleh ketenangan, optimisme, dan
keberanian Nabi Musa a.s. yang senantiasa yakin Allah bersamanya dan
akan menunjukinya jalan. Dan benar saja Allah memberinya jalan keluar
berupa mukjizat berupa terbelahnya laut merah dengan pukulan tongkatnya
sehingga bisa dilalui oleh Nabi Musa dan pengikutnya. Kemudian laut itu
menyatu kembali dan menenggelamkan Firaun beserta tentaranya.
Kisah
yang tak kalah mencengangkannya terlihat pada peristiwa pembakaran Nabi
Ibrahim a.s. Rasa takut thabi’i terhadap api dan terbakar olehnya
teratasi oleh rasa takut syar’i yakni takut kepada Allah saja. Dan subhanallah, pertolongan Allah datang dengan perintah-Nya kepada api agar menjadi dingin dan sejuk serta menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s.
Selayaknya
setiap kader dakwah selalu menundukkan rasa takut insaniyahnya dengan
mendominasikan rasa takut syar’inya. Sehingga yang selalu tertanam dalam
dirinya hanya takut pada Allah semata. Dan tidak pernah gentar akan
kekuatan-kekuatan selain Allah swt.
3. Taurits Al Khairiyah (Mewariskan Hal Yang Terbaik)
Penopang
lainnya adalah dengan mempertimbangkan keadaan generasi berikutnya
harus lebih baik dari sebelumnya. Maka warisan yang ditinggalkan untuk
mereka adalah warisan-warisan kemuliaan. Sehingga mereka mengikuti jejak
para pendahulunya yang mempunyai akhlaq mulia. Bila menginginkan
generasi sesudahnya menjadi pemberani, maka wariskan sifat berani pada
mereka. Namun bila mewariskan sifat takut dan pengecut maka jangan harap
generasi berikutnya menjadi orang-orang yang heroik dan patriotik.
Abul
‘Ala Al Maududi menegaskan bahwa untuk mewariskan keturunan dan
generasi yang lebih baik maka jangan lakukan sifat-sifat rendahan.
Karena itu akan menjadi contoh bagi mereka. Ingatlah kebaikan akan
mewariskan kebaikan dan keburukan akan mewarisi keburukan pula. Oleh
karena itu Allah swt. telah mengingatkan agar memperhatikan nasib
generasi berikutnya dengan mewariskan nilai-nilai kebaikan untuk menjadi
dhawabith khairiyah bagi mereka.
“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An Nisa’: 9)
Adalah
hal yang patut dipikirkan para kader dakwah untuk selalu menanamkan
tekad dan kemauan agar melahirkan generasi yang terbaik dengan selalu
berpegang pada sikap-sikap keteladanan yang di antaranya sikap asy
syaja’ah.
4. As Shabru Ala Ath Tha’ah (Bersabar Terhadap Ketaatan)
Keberanian
akan terus ada pada diri kader bila mereka bersabar. Sabar terhadap
peristiwa yang mereka alami. Karena kesabaran itu merupakan senjata yang
ampuh yang memberikan ketahanan menghadapi tekanan berat sekalipun.
Dengan kesabaran kita pun dapat membandingkan kejadian yang dirasakan
generasi yang lalu dengan yang sedang kita rasakan. Mereka tentu telah
mengalami cobaan yang lebih berat ketimbang yang kita alami saat ini.
Dengan kesabaran ini kita dapat bertahan dan terus maju melangkah di
atas jalan dakwah dengan gagah berani.
Sebagaimana
yang dicontohkan oleh Rasulullah saat menasihati Khabbab bin Al Arts
yang berkeluh kesah atas beratnya penderitaan yang dialaminya, beliau
mengingatkan Khabbab akan perjuangan para Nabi dan orang-orang shaleh
terdahulu yang jauh lebih berat tapi mereka tetap berani dan tabah. Jadi
kita bisa memupuk keberanian dan kesabaran dengan berkata, “Ah… cobaan ini belum seberapa dibanding yang pernah dialami orang-orang shaleh terdahulu.“
Oleh
sebab itu bekal kesabaran tidak boleh dalam keadaan defisit. Kesabaran
mesti dalam kondisi yang selalu cukup dan bertambah. Karena kesabaran
yang kuat menjadi tameng dalam menyelamatkan diri atas cobaan-cobaan
berat dakwah ini. Allah swt. pun mengingatkan agar senantiasa bersabar
dan menguatkan kesabaran.
“Hai
orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu
dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah
kepada Allah supaya kamu beruntung”. (Ali Imran: 200)
5. Al Ajru min Allah (Berharap Balasan Dari Allah)
Seorang
kader juga bisa mengusung dakwah ini dengan berani karena berharap
balasan yang besar dari Allah swt. Balasan yang dijanjikan ini
meminimalkan perasaan takut akan ancaman dalam memperjuangkan dakwah.
Rasa takut akan segera sirna bila balasan yang dijanjikan jauh lebih
besar dari apa yang diderita saat itu. Bahkan balasan yang pasti
diberikan itu dapat memompa semangat juang kader untuk terus berada di
jalan dakwah dan memperjuangkannya sampai titik darah penghabisan. Maka
balasan Allah swt. itu seyogianya tervisualisasi dengan baik pada diri
kader dakwah. Seakan-akan semua balasan itu ada di pelupuk mata.
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka
(dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu
merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang
telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam
kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang
kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.
Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (Fushshilat: 30-32)
Bila
balasan yang dijanjikan Allah swt. senantiasa terngiang-ngiang dalam
benak kader, maka tidak ada alasan untuk takut dan pengecut. Rasulullah
saw. mengingatkan Abdullah bin Harits yang mengungkapkan keinginannya
untuk masuk Islam. Namun ia perlu mengajukan dua syarat yang memang
terjadi pada dirinya. Pertama, tidak dibebankan infak karena dia orang
yang termiskin di keluarga dan kabilahnya dan tidak pula diwajibkan
berperang karena dia seorang yang penakut. Nabi menjawab, “Wahai
Abdullah, bila itu kamu syaratkan lalu dengan apa kamu akan masuk
syurga?” Maka Abdullah menandaskan, “Kalau begitu, ya Rasulullah, aku
akan berinfak dan akan berjuangan di jalan Allah swt.” Begitulah
akhirnya Abdullah bin Harits berada di barisan terdepan di jalan dakwah
tanpa rasa takut dan lemah.
Syaja’ah
atau pemberani tentu saja berbeda dengan bersikap nekat, “ngawur” atau
tanpa perhitungan dan pertimbangan. Asy syaja’ah adalah keberanian yang
didasari pertimbangan matang dan penuh perhitungan karena ingin meraih
ridha Allah. Dan untuk meraih ridha Allah, tentu saja diperlukan
ketekunan kecermatan dan kerapian kerja (itqan). Bukan
keberanian yang tanpa perhitungan yang melahirkan kenekatan, namun juga
bukan terlalu perhitungan dan pertimbangan yang melahirkan ketakutan.
Perwujudan
sikap asy syaja’ah dalam kehidupan ini amatlah banyak terlebih dalam
memperjuangkan dakwah. Implementasinya bisa bermacam-macam. Di
antaranya:
a. Quwwatul Ihtimal (Memiliki Daya Tahan Yang Besar)
Seseorang
dapat dikatakan memiliki sifat berani jika ia memiliki daya tahan yang
besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya
dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
Begitu
banyak orang yang tidak memiliki daya tahan tinggi terhadap segala
tantangan dan kesulitan sehingga mudah surut, menyerah atau
berputus-asa. Padahal dalam kehidupan yang semakin berat dan sulit
dewasa ini begitu banyak tantangan dan marabahaya yang harus disikapi
dan dihadapi dengan berani, karena bersikap pengecut dan melarikan diri
dari persoalan hidup yang berat tidak akan pernah menyelesaikan masalah.
Apalagi dalam perjuangan dakwah untuk mencapai kemenangannya.
Daya
tahan yang besar terhadap tekanan memberikan kemampuan menanggung
beban-beban berat sendirian tanpa menyertakan yang lainnya. Malah ia
ingin saudara-saudaranya tidak boleh mengalami kesulitan lantaran
dirinya. Bila perlu ia yang menanggung penderitaan saudaranya yang lain.
Begitulah kekuatan daya tahan kader dakwah yang patriotik.
Khubaib
bin ‘Ady pernah ditawari Abu Sufyan ketika akan dieksekusi mati. “Wahai
Hubaib, bagaimana kalau dirimu digantikan oleh Muhammad yang akan
menduduki kursi pesakitan itu.” Khubaib menjawab, “Demi Allah yang
diriku dalam genggaman-Nya. Aku tidak akan rela bila Muhammad
menggantikan diriku begini. Kalau sekiranya aku tahu bahwa Muhammad
sekarang ini tertusuk duri, maka aku tidak bisa tenang dan aku beserta
keluargaku akan menggantikannya menderita karena tertusuk duri.” Inilah
daya tahan yang kuat, berani menanggung beban risiko sendirian dan tidak
ingin melibatkan kesulitan dirinya pada saudaranya.
b. As Sharahah fi Al Haq (Berterus Terang pada Kebenaran)
Keterusterangan
dalam kebenaran sebagai indikasi keberanian. Sekalipun hal itu akan
mengundang ekses padanya. Terkadang ada yang tidak bisa menerimanya. Ada
juga yang memusuhinya. Ada pula yang mengancamnya. Bahkan ada pula yang
tidak siap mendengarnya lalu membunuhnya.
Mengatakan
yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang pahit bila dilihat
dari sisi dampak yang bakal muncul. Namun bila dilihat dari sisi manfaat
dan izzah keimanan ia menjadi sebuah keharusan. Sebagaimana sabda Nabi
saw. ‘Qulil haq walau kaana muuran’ (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan keberanian menanggung segala risiko bila kita senantiasa berterus terang dalam kebenaran.
Tidak
sedikit orang tergelincir dalam bersikap lalu ia berdusta atau diam
karena khawatir akan risiko-risikonya. Sikap ini dipilih untuk mencari
jalan selamat. Atau memang ia seorang pengecut dan penakut. Padahal
sangat mungkin penguasa itu mendapatkan hidayah bila seseorang
menyampaikan kebenaran tanpa rasa takut kepadanya. Ada seorang penguasa
zhalim menginsafi dirinya. Sang penguasa menangis atas nasihat yang
diucapkan seorang ulama yang berani memaparkan kebenaran padanya.
Sikap
berani menyampaikan kebenaran yang mengandung risiko berat menjadi
harga diri seorang kader dalam memperjuangkan dakwah. Para musuh tidak
akan menganggap miring pada orang-orang yang mempunyai sikap ini. Malah
mungkin sangat dipandang. Paling tidak sang penguasa akan gentar
menghadapinya.
c. Kitmanu As Sirri (Kemampuan Menjaga Rahasia)
Kemampuan
menyimpan rahasia merupakan bentuk keberanian yang bertanggung jawab.
Orang yang berani adalah orang yang bekerja dengan baik, cermat dan
penuh perhitungan terutama dalam persiapan jihad menghadapi musuh-musuh
Islam termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia dengan
serapat-rapatnya. Sebab kerahasiaan adalah tanggungan yang harus
disimpan dengan baik meski berisiko tinggi. Ia bukanlah sesuatu yang
diumbar-umbar kepada orang yang tidak berhak. Apalagi terhadap
kerahasiaan dakwah. Karena terbongkarnya sebuah kerahasiaan akan
berakibat fatal. Sangat banyak operasional dakwah berantakan karena
tersiarnya rahasia dakwah.
Menyimpan
rahasia bukanlah hal yang gampang. Ia merupakan pekerjaan berat yang
tidak sembarang orang mampu melakukannya. Hanya orang-orang yang berani
dan terampil menyimpan rahasia sajalah yang dapat melakukannya.
Karenanya sahabat Rasulullah saw. yang memiliki kemampuan ini tidaklah
banyak. Mereka adalah sahabat pilihan Nabi saw. untuk bisa menjaganya.
Ada pepatah yang menyatakan bahwa selamatnya manusia tergantung dalam
menjaga lidahnya. Tentu juga termasuk di dalamnya adalah menjaga
kerahasiaan. Ini sangat ditentukan oleh keberanian menanggung beban
akibat dari rahasia yang dipikulnya.
Huzaifah
ibnul Yaman r.a. seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan sebutan
shahibus sirri. Dia dapat menyimpan rahasia dengan baik. Hingga tidak
diketahui yang lain akan tugas dan tanggung jawabnya menjaga rahasia.
Dia berani menghadapi konsekuensinya sekalipun terasa amat berat. Akan
tetapi yang membuat gentar dirinya adalah bila tertangkap musuh.
Sebagaimana yang pernah ia ungkapkan pada Rasulullah saw. “Ya
Rasulullah, saya tidak takut bila harus mati, akantetapi yang aku
takutkan adalah bila aku tertangkap.”
d. Al ‘Itirafu bil Khatha’i (Mengakui Kesalahan)
Salah
satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah tidak mau mengakui
kesalahan, mencari kambing hitam dan bersikap “lempar batu, sembunyi
tangan”. Sebaliknya orang yang memiliki sifat syaja’ah adalah berani
mengakui kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan, dan
bertanggung jawab.
Memang
mengakui kesalahan tidaklah mudah. Kadang ada rasa malu, perasaan takut
dikucilkan, perasaan cemas akan pandangan sinis orang lain karena
kesalahannya. Padahal mengakui kesalahan diri sendiri sangat
menguntungkan. Sebab ia lantas bisa melihat kesalahan dirinya. Ia pun
tidak menyalahkan orang lain. Ia juga akan cepat memperbaiki dirinya.
Dan berani mengakui kesalahannya akan membuka pintu keinsafan
selebar-lebarnya.
Allah
swt. memberikan contoh pelajaran dari sikap Nabi Adam a.s. ketika
melakukan kesalahan, ia tidak limpahkan kesalahan itu pada setan yang
menggodanya. Akan tetapi ia lebih memberatkan dirinya sehingga
terbukalah pintu ampunan untuknya. “Keduanya berkata: “Ya Tuhan
kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami
termasuk orang-orang yang merugi”. (Al ‘Araf: 23)
e. Al Inshafu min Ad Dzati (Bersikap Obyektif Pada Diri Sendiri)
Ada
orang yang cenderung bersikap over estimasi terhadap dirinya,
menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan
serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap under estimasi terhadap
dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa dan
tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak
proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani akan bersikap
obyektif, dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk.
Obyektif
dalam memandang diri sendiri akan membuka kesempatan pada orang lain
untuk ikut berperan serta. Malah ia akan sangat berhajat pada keberadaan
orang lain. Karena ia tahu benar bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa
tanpa partisipasi yang lainnya. Di samping itu ia pun tidak akan
meremehkan kemampuan dirinya. Sehingga ia bisa berbuat lebih banyak
secara optimal dari potensi miliknya.
Umar
bin Abdul Aziz saat diangkat menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan
khalayak rakyatnya. “Aku bukanlah orang yang paling baik dari kalian.
Aku hanyalah manusia seperti kalian akan tetapi aku mendapatkan amanah
yang amat besar melebihi kalian. Karena itu bantulah diriku dalam
menunaikan amanah ini.” Begitulah layaknya orang yang berani memandang
kemampuan dirinya secara obyektif.
f. Milku An Nafsi ‘inda Al Ghadhabi (Menahan Nafsu di saat Marah)
Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah li nafsi,
melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri
dan menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk
melampiaskan amarahnya. Orang yang bisa lakukan itu dipandang sebagai
orang kuat karena kemampuannya menahan amarah.
Amarah
dapat menggelincirkan manusia pada sikap serampangan. Ia akan
kehilangan kontrol diri. Bisa jadi ia lupa diri akan sikapnya yang
keliru. Malah ia tak akan pernah menemukan solusi jitu akan masalahnya.
Oleh karena itu Islam memerintahkan untuk bisa mengendalikan diri dari
amarah. Sampai-sampai Rasulullah saw. mengajarkan untuk tidak amarah
berulang-ulang. Bila masih muncul perasaan itu maka rubahlah posisi
dirinya. Bila juga masih berkobar-kobar maka pergilah dan ambillah
wudhu. Karena rasa marah dari setan. Setan diciptakan dari api. Dan api
bisa mati disiram dengan air.
Keberanian
adalah kelaziman dalam dakwah dan menjadi sikap yang melekat dalam diri
sang kader. Ia adalah identitas pengemban amanah umat untuk bisa
menunaikan tugas berat yang diusungnya. Ingat-ingatlah senandung para
senior dakwah yang menggumankan, “Di dalan hatiku selalu terdengar
suara Nabi yang memerintahkan, ‘Berjihadlah, berjuanglah dan lelahkanlah
dirimu.’ Dan berseru, ‘Menanglah, kalahkanlah musuh dan berlatihlah
jadilah kamu selamanya orang merdeka yang pantang menyerah. Hai pemberani lakukanlah karena kita punya hari esok dan harapan’.”
Wallahu a’lam bishshawwab.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/05/673/berani-di-jalan-dakwah/#ixzz26ihYLbi6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar