Senin, 17 September 2012

Mengasah jiwa kepemimpinan Ala Rasulullah SAW


Mengasah jiwa kepemimpinan Ala Rasulullah SAW Sobat, kalau kita ingin menjadi pemimpin sejati,pengusaha sukses, entrepreneurship yang handal, sekaligus sukses dunia akherat, contohlah pribadi yang ada dalam diri Nabi Muhammad SAW. (N.Faqih Syarif H) Sobat pada pertemuan ke-tiga Thank God It’s Ramadhan SMART 88.9 FM di Mercure Grand Mirama Surabaya kemarin sebagai bintang tamunya adalah Gus Ipul wakil gubernur Jawa Timur, kita kembali membahas dan menggali kepemimpinan dan spiritualitas para CEO,pimpinan perusahaan dan Instansi. Ada inspirasi yang menarik yang disampaikan oleh Gus Ipul tentang bagaimana dia memimpin selama ini baik sebagai ketua GP Anshar dulu, Menteri Negara Percepatan Daerah Tertinggal atau sekarang sebagai salah satu ketua PBNU dan wakil gubernur jawa timur. “ Segalanya adalah amanah yang harus dilakukan dengan totalitas dan penuh semangat serta berusaha menjadikan diri bermanfaat bagi sesama sebagai bekal menghadap keharibaan Allah SWT.” Jawab Gus Ipul dengan gayanya yang santai dan bersahaja. Gus ipul juga mengingatkan bahwa menjadi seorang pemimpin bukanlah sesederhana pegang komando, lantas asal beri perintah. Ganti sana, ganti sini. Perintah inilah, perintah itulah. Rasulullah SAW dalam sebuah hadits mengingatkan kepada kita semua, “ Kamu semua adalah seorang pemimpin dan masing-masing kamu kelak akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT atas apa yang kamu pimpin.” Sobat, seorang pemimpin haruslah cerdas (fathonah), karena seluruh pernyataannya berimplikasi pada kehidupan orang banyak. Sekali saja ia salah melangkah, cost-nya akan sangat besar dan dampaknya bisa berimplikasi kepada yang dipimpinnya. Maka selain cerdas, seorang pemimpin harus mampu memahami situasi dan kondisi yang dipimpinnya. Seorang pemimpin harus berada di tengah-tengah masyarakat. Bukan hanya kongkow-kongkow di gedung mewah ber AC. Seorang pemimpin juga harus memiliki kepekaan sosial yang tinggi dan ini tentunya perlu dilatih jauh hari. Sobat, Rasulullah SAW pemimpin yang paling agung,juga ternyata telah melatih sens of lesdership-nya sejak ia masih kecil. Sewaktu kecil, beliau telah menjadi penggembala kambing/domba yang setiap harinya mengatur ratusan kambing. Ia tahu betul mana kambing yang sedang sakit, mana kambing yang nakal dan mana kambing yang sedang birahi. Muhahammad juga tahu bagaimana seharusnya ia bersikap dengan kambing-kambingnya itu. Kapan ia harus menggiring ke padang rerumputan dan kapan ia harus membawanya pulang. Sebagai seorang penggembala, Muhammad kecil dilatih bersikap sabar, teliti, untuk mencurahkan perhatiannya secara ekstra untuk mengawasi kambing-kambingnya itu. Karena sekali ia lengah, maka sekawanan serigala siap memangsa hewan ternaknya itu. Sobat, dengan menjadi seorang penggembala karakter kepemimpinannya menjadi terasah dan terlatih. Kepekaan terhadap umatnya, siapapun tak bisa meragukannya. Beliau juga menjalani sebagai manusia biasa. Apa yang dimilikinya tidak serta merta turun dari langit, tapi lebih dari itu, melalui proses pembelajaran yang panjang. Beliau pernah bersabda, “ Nabi-nabi yang diutus Allah itu adalah penggembala kambing. Musa diutus,ia penggembala kambing. Daud diutus, ia penggembala kambing. Aku diutus juga adalah penggembala kambing keluargaku di Ajyad,” Sobat, menjadi pemimpin sejati dibutuhkan keuletan dan kerja keras. Thomas Alva Edison mengukapkan kata-kata yang luar biasa, gagasan(inspirasi) hanya menyumbang 1 % sedangkan yang 99 % adalah kerja keras untuk mewujudakannya (Perspirasi). Kata-kata ini patut juga kita renungkan bersama. Untuk menjadi pemimpin, keuletan dan bekerja keras menjadi salah satu factor penentu yang menyumbang kesuksesan. Jangan berharap, ketika kita bermalas-malasan, akan bisa menjadi pemimpin yang sukses. Hal di atas sangat layak kita terapkan dalam membangun jiwa-jiwa entrepreneurship. Selain tertanamnya jiwa kewirausahaan dari diri, yang terpenting juga adalah aspek eksternal untuk menjadi entrepreneurship. Semuanya menjadi factor pendukung yang komprehensip untuk dapat mengembangkan mental wirausahawan. Selain harus kreatif, inovatif,pekerja keras,tegar, dan ulet. Ada lagi beberapa hal yang bisa menjadi stimulan untuk mengasah mental entrepreneurship. 1. Pekerja keras. Rasulullah SAW ketika tidur, matanya terpejam, dan berada di tempat tidur, hatinya senantiasa terbuka, merasa dan berkontemplasi. Pikirannya selalu bekerja, berpikir, mengevaluasi dan merancang masa depan umatnya. Di dalam “kamus dir” beliau senantiasa menjadikan malam dan siang, sebagai waktu yang tak ada batasnya dalam memikirkan umatnya. Inilah teladan yang harus diambil bagi siapa saja yang menginginkan menjadi pemimpin atau entrepreneur sejati. 2. Pola pikir multi tasking dalam arti positif. Seorang pemimpin atau wirausahawan sejati mampu melihat sesuatu dalam perspektif atau dimensi yang berlainan pada satu waktu.Bahkan ia juga mampu melakukan beberapa hal sekaligus.Kemampuan inilah yang membuatnya piawai dalam menangani persoalan yang dihadapi oleh intitusi atau perusahaan yang mereka pimpin. 3. Mampu menahan nafsu untuk cepat menjadi kaya. Wirausahawan yang bijak biasanya hemat dan sangat berhati-hati dalam menggunakan uangnya. Dia mengerti juga bahwa membangun sebuah perusahaan yang kokoh dan mapan memerlukan waktu bertahun-tahun. Dia mampu menahan nafsu konsumtifnya.Baginya pengeluaran yang tidak menghasilkan akan dianggap sebagai sebuah kemewahan. 4. Berani mengambil resiko. Semakin resiko yang diambilnya, semakin besar pula kesempatan untuk meraih keuntungan karena jumlah pemain semakin sedikit. Tentunya, resiko-resiko ini sudah harus diperhitungkan terlebih dahulu. 5. Dan masih banyak lagi faktor yang belum terungkap pada tulisan ini bisa Anda lengkapi bacaan Anda dengan membaca artikel-artikel saya sebelumnya di www.faqihsyarif.com Sebagai penutup sobat, , kalau kita ingin menjadi pemimpin sejati,pengusaha sukses, entrepreneurship yang handal, sekaligus sukses dunia akherat, contohlah pribadi yang ada dalam diri Nabi Muhammad SAW. Berani mencoba! Sukses dunia dan akherat bakalan Anda raih. Salam Dahsyat dan luar biasa! ( Spiritual Motivator N.Faqih Syarif H, S.Sos.I,M.Si, Penulis buku Al quwwah ar ruhiyah kekuatan spirit tanpa batas dan buku Menjadi Dai yang Dicinta email mumtaz.oke@gmail.com )

Nikmat Allah itu begitu Banyak nan Indah.

Nikmat Allah itu begitu Banyak nan Indah.

Nikmat Seorang bapak paruh baya suatu saat bertutur, “Ya Allah, aku memohon izin kepada Engkau, hendak menggunakan akal-pikiran dan tubuhku hari ini untuk bekerja mencari nafkah yang halal demi memenuhi kebutuhan keluargaku.” Mungkin kedengarannya aneh. Namun, demikianlah kata-kata itu hampir setiap pagi ia lafalkan sebelum berangkat ke tempatnya bekerja. Ketika ia ditanya, sebegitu pentingkah memohon izin kepada Allah SWT untuk sekadar berangkat kerja? Ia menjawab, “Nak, kita sering mengklaim, harta kita milik Allah; istri dan anak-anak kita milik Allah; tubuh dan jiwa kita pun milik Allah; semua milik Allah. Jadi, apa salahnya kita memohon izin dan ridha Allah saat kita memanfaatkan semua itu? Toh, semuanya memang milik-Nya yang kebetulan Dia titipkan kepada kita,” jawabnya serius, tanpa sedikitpun menyiratkan kepura-puraan. “Ya, tapi bukankah Allah SWT memang telah menganugerahkan semua yang ada di dunia ini untuk kita, manusia?” kembali ia ditanya. “Betul, tidak salah. Tapi, itu bukan berarti tanpa syarat. Seperti seseorang yang meminjamkan kendaraannya kepada kita untuk berbelanja, misalnya, tentu tak pantas kendaraan itu kita pakai untuk merampok. Engkau mengerti, kan?” katanya balik bertanya. “Demikian pula dengan kita. Allah SWT menganugerahkan akal-pikiran dan tubuh kita untuk beribadah kepada Diri-Nya. Allah SWT menyediakan segala karunia-Nya di dunia ini, juga untuk bekal manusia mengabdi kepada Diri-Nya. Masalahnya, apakah semua yang Allah ‘pinjamkan’ kepada kita itu benar-benar telah dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya itu? Ataukah semua yang hakikatnya milik Allah itu malah kita gunakan untuk bermaksiat dan melanggar perintah-Nya? Sudahkah mata yang Allah titipkan kepada kita, misalnya, benar-benar hanya digunakan untuk melihat yang halal; atau seringnya malah digunakan untuk melihat hal-hal yang haram? Sudahkah lisan kita digunakan hanya untuk mengeluarkan kata-kata yang bermanfaat serta mengandung hikmah dan nilai dakwah; atau seringnya malah untuk mengucapkan kata-kata yang sia-sia tak berguna?” ***** Di lain waktu, seorang kiai sepuh yang amat wara’ dan zuhud di suatu daerah terpencil pernah ditanya oleh seorang anak muda, mengapa ia tidak pernah berniat menambah koleksi pakaiannya yang hanya beberapa potong saja di rumahnya, tak lebih dari 3-5 potong pakaian saja? Sang kiai sepuh menjawab, “Nak, yang lima potong saja sebagiannya masih sering tergantung begitu saja, jarang dipakai. Saya sering khawatir seandainya nanti hal itu ditanyakan oleh Allah SWT di akhirat nanti. Saya khawatir ditanya, ‘Kamu telah Aku beri nikmat, mengapa tak kamu syukuri; mengapa kamu sia-siakan?’” Terkait kisah di atas, Allah SWT berfirman: Kemudian pada hari itu kalian benar-benar akan ditanya tentang nikmat itu (TQS at-Takatsur [102]: 8). Ayat ini tentu sering kita baca atau kita dengar. Namun, entah mengapa, saat ayat itu dibacakan kembali oleh guru saya, Al-Mukarram KH Hafidz Abdurrahman, dalam suatu kesempatan halaqah, saya tersentak dan tersadar. Saat itu, beliau menceritakan, bahwa Baginda Rasulullah saw. itu sering dilanda rasa lapar karena seringnya beliau tidak mendapati makanan di rumahnya. Saat tak punya makanan di rumahnya, beliau pun berpuasa. Beliau tidak sedih atau galau karena ‘musibah’ rasa lapar itu. Lalu pada saat ada sahabat yang mengirim kurma kepada beliau, bukannya bergembira. beliau malah kelihatan sedih dan galau, seraya mengingatkan kembali ayat di atas. Begitulah sikap Rasulullah saw. saat mendapatkan nikmat. Mengapa? Karena terkait nikmat yang Allah berikan kepada manusia, sekecil apapun, akan dimintai pertanggung-jawaban. Nikmat yang dimaksud tentu saja adalah seluruh kelezatan dunia (Lihat: As-Suyuthi, Durr al-Mantsur, X/337). Sebaliknya, Allah SWT tidak akan meminta pertanggungjawaban atas musibah yang Dia timpakan kepada manusia. Karena itu, Baginda Rasulullah saw. tidak bersedih karena suatu musibah yang menimpa. Namun, kita memang jauh berbeda dengan Baginda Rasulullah saw. Kita sering amat sedih saat kenikmatan lepas dari diri kita dan terlalu bergembira saat kenikmatan itu menghampiri kita; lupa jika dengan kenikmatan itu kita akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat nanti. ***** Terkait dengan nikmat pula, kita tentu sering diingatkan dengan sebuah sabda Baginda Rasulullah saw. sebagaimana dituturkan oleh Ibn Mas’ud ra., “Kaki anak Adam tidak akan bergeser di hadapan Rabb-nya pada Hari Kiamat nanti sebelum ditanya tentang lima perkara (yaitu): umurnya, bagaimana ia lalui; masa mudanya, bagaimana ia habiskan; hartanya darimana ia dapatkan dan bagaimana ia belanjakan; serta tentang apa yang telah ia amalkan dari ilmu yang ia miliki.” (HR at-Tirmidzi). Dalam hadis lain penuturan Ibn Abbas disebutkan bahwa Baginda Rasulullah saw. pun pernah bersabda, “Ada dua nikmat yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia yaitu: nikmat sehat dan waktu luang.” (HR al-Bukhari). Padahal, terkait nikmat kesehatan dan waktu luang, kita pun akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban: sejauh mana kesehatan dan waktu luang itu kita manfaatkan; apakah untuk kebaikan atau keburukan; apakah untuk memperbanyak amal salih atau amal salah; apakah untuk memperbanyak amal dakwah atau melulu untuk urusan ma’isyah; dst. Bagaimana dengan nikmat harta? Terkait sedikitnya harta kita, ia tetap akan dipertanyakan dan dimintai pertanggungjawaban: darimana dan untuk apa? Apalagi jika harta kita berlimpah-ruah, tentu akan lebih banyak lagi pertanyaan Allah SWT kepada kita pada Hari Akhir kelak. Itulah mengapa, Baginda Rasulullah saw. pernah bersabda tentang Abdurrahman bin Auf ra., seorang sahabat yang kaya-raya, “Nanti Abdurrahman bin Auf (karena hartanya yang banyak, pen.) akan masuk surga dalam keadaan merangkak.” Mendengar sabda Baginda Rasulullah saw. demikian, seketika Abdurrahman bin Auf ra. pun menyedekahkan seluruh hartanya (termasuk emas dan perak) yang diangkut dengan 700 ekor unta (berikut seluruh untanya itu). Padahal harta itu baru saja tiba di Madinah sebagai hasil berbulan-bulan ia berbisnis di luar Kota Madinah. Ia melakukan itu tidak lain karena sangat khawatir atas lamanya penghisaban Allah SWT atas dirinya di akhirat kelak karena hartanya yang melimpah itu. Wama tawfiqi illa bilLah wa ‘alayhi tawakaltu wa ilayhi unib. [Arief B. Iskandar]

MEMBUKAPINTU RIZKI

Membuka Pintu rezeki!



Membuka Pintu rezeki!
Yakinlah bahwa rezeki itu bersumber dari Allah!
Sobat, rezeki kita tidak bergantung pada gaji yang kita terima.Rezeki kita tidak bergantung pada karier dan prestasi kita.Rezeki kita tidak bergantung pada jabatan dan kedudukan kita.Rezeki kita tidak bergantung hanya menjadi pegawai negeri! Tapi rezeki kita bergantung hanya pada Allah saja. Titik dan ndak pakai koma.
Sobat, di jaman yang serba materialistik dan sekuleristik  ini banyak orang yang berkeyakinan bahwa rezeki bersumber dari pekerjaan,usaha, kerja keras, kecerdasan, relasi dan sebagainya. Itu salah besar teman sebabnya rezeki itu hanya satu yaitu Arrizku biyadillah.Rizki itu semata-mata datangnya dari Allah.Pekerjaan, usaha, kerja keras,kecerdasan, dan relasi hanyalah  alhaal – media/sarana untuk menjemput rezeki dan itulah ladang amal sholeh apakah kita pergunakan sesuai dengan aturan Allah atau tidak disitulah berlaku hisab Allah. Allah tidak bertanya banyak atau tidaknya rezeki yang kita peroleh tapi Allah akan menghisab kita bagaimana cara mengusahakan dalam menjemput rezeki itu  dan  bagaimana cara mendistribusikan rezeki yang kita peroleh itu. Bukankah rezeki itu semuanya bersumber dari Allah SWT.
Jangankan manusia yang sudah dikaruniahi dengan potensi akal, hati dan indera yang lima, semut yang berada di dalam batu pun diberi rezeki oleh Sang Maha Pemberi Rezeki.
 Allah SWT berfirman :
“ Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi  melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata.” (TQS. Hud (11) ayat 6).
Sobat, jika kita sudah yakin bahwa rezeki bersumber dari  Allah SWT,  maka : Kita tidak perlu takut sekiranya harus diberhentikan dan kehilangan pekerjaan yang selama ini menopang kehidupan kita dan keluarga. Kita tidak perlu takut muncul para pesaing yang menyaingi usaha dan karier kita. Kita tidak perlu takut ditinggalkan relasi atau konsumen kita. Kita tidak perlu takut diancam atau dimusuhi kawan atau atasan kita. Kita tidak perlu takut menjadi miskin atau kaya. Intinya, tidak ada yang perlu kita takutkan dan khawatirkan tentang rezeki kita! Yang terpenting adalah lakukan yang terbaik sesuai aturan-Nya dalam mengusahakan menjemput rezeki bagi kita dan mendistribusikannya secara halal dan sesuai syariatnya. Insya Allah akan membawa keberkahan hidup.
Rezeki kita tidak bergantung pada gaji yang kita terima.Rezeki kita tidak bergantung pada karier dan prestasi kita.Rezeki kita tidak bergantung pada jabatan dan kedudukan kita.Rezeki kita tidak bergantung hanya menjadi pegawai negeri! Tapi rezeki kita bergantung hanya pada Allah saja. Titik dan ndak pakai koma.
Berikut ini sobat, beberapa amalan yang Insya Allah bisa mempercepat dan meningkatkan rezeki kita masing-masing :
  1. Yakinkan diri sampai benar-benar masuk dalam otak bawah sadar kita bahwa Rezeki itu . bersumber dari Allah SWT. Insya Allah ada banyak limpahan rezeki yang akan kita dapatkan dan pantang menyerah untuk berusaha menjemput rezeki dari-Nya.
  2. Melanggengkan sholat dhuha tentu sobat tidak meninggalkan sholat wajib. Dalam hadits Qudsi “Allah berfirman: Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas melakukan sholat empat rokaat pada pagi hari (sholat dhuha) karena aku akan mencukupi kebutuhanmu hingga sore hari.”( HR. Abu Daud ).
  3. Membiasakan bersedekah. Tentang keajaiban sedekah banyak diungkap dan dibicarakan panjang lebar dari berbagai kitab para salafushalih atau buku-buku di era saat ini. Ada banyak ayat-ayat Al Qur’an yang menyatakan Allah telah menjamin akan melipatgandakan dan mengganti sedekah yang dikeluarkan dengan balasan rezeki yang berkali lipat. Bisa kit abaca diantaranya QS Al-hadid ayat 18, QS Al-Baqarah ayat 261. Baginda Rasulullah Saw juga bersabda, “Setiap pagi turunlah dua malaikat dari langit yang saling menyeru dan berdo’a. Salah satu malaikat berdo’a, Ya Allah berikanlah ganjaran kepada orang yang bersedekah.’ Sedangkan malaikat yang lainnya berdo’a, ‘Ya Allah berikanlah kerugian kepada orang yang kikir,”
  4. Berbakti dan berbuat baik kepada orang tua. Sahabat Anas bin Malik mengatakan, baginda Nabi Muhammad Saw, bersabda,” Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya, hendaklah ia berbakti kepada orang tuanya dan menyambung tali silaturahmi.”
  5. Istiqomah dalam membaca Al qur’an, sholawat nabi serta melakukan amar ma’ruf nahi munkar.( Dakwah di jalan Allah). Bukankah Rasul pernah menyampaikan,” Sebaik-baik diantara kalian orang yang belajar Al qur’an dan mengamalkannya.(mendakwahkannya).  Dalam riwayat lainnya : “ Sesungguhnya orang yang  berilmu ( yang mendakwahkan ilmunya) akan dimintakan ampun baginya oleh makhluk yang di langit dan makhluk yang di bumi, hingga ikan-ikan dalam lautan. ( HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah ).
  6. Terus menjalin silaturahmi. Sayyidina Ali Ra pernah mengemukakan bahwa Rasulullah Saw,bersabda, “ Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dihindarkan dari mati dalam keadaan tidak baik, hendaklah ia gemar menyambung tali silaturahmi.” ( HR. Bukhari). Ternyata ilmu marketing modern benar-benar mengakui ajaran rasul ini inilah yang mereka sebut dengan istilah the power of networking.
  7. Memperbanyak Istighfar dan do’a adalah kunci pembuka keberkahan rezeki. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas, Rasulullah Saw bersabda, “ Barangsiapa yang senantiasa membaca istighfar, niscaya Allah akan melapangkan dari segala kesempitan, menghilangkan duka cita dan kesusahan, memberikan rezeki tanpa terduga-duga.”
Dikisahkan ada seorang Bapak yang  kehidupannya amat sederhana sebagai PNS jujur yang berputra7 dan 3 orang anak yatim piatu yang dia asuh. Aktif mendirikan masjid di kampungnya sebagai panitia,membina anak-anak kampung untuk menjadi baik, Kepingin sekali Bapak tadi menunaikan ibadah haji akan tetapi Tabungan pensiunan yang dia rencanakan ternyata tidak cukup. Tapi beliau tetap sabar dan istiqomah berjuang di jalan Allah, beliau sekalipun tidak pernah tinggal sholat tahajud dan dhuha sudah menjadi kebiasaan. Subhaanallah! Allah Yang Maha Pemberi Rezeki memberikan kejaiban dan rezeki yang tak disangka-sangka. Saat beliau silaturahmi ke sanak kerabat di luar kota, beliau bercerita tentang keinginan untuk berangkat haji setelah keluar tabungan pensiun PNS nya hanya tidak cukup utk berangkat, rupanya Allah mengetuk hati salah satu saudaranya yang pengusaha yang tidak jadi berangkat karena sesuatu hal tapi dia bernadzar akan memberangkatkan haji 1 orang tahun itu. Akhirnya singkat cerita Bapak Tadi bisa berangkat haji lantaran berkah silaturrahmi. Subhaanallah.
Di akhir artikel ini saya sampaikan do’a yang saya terima dari almarhum ibu, beliau ijazahkan kepada penulis yang tiap kali dibacakan saat sujud syukur setelah sholat. 
Allahumma ikhfini bihalalika ‘an haramika wa aghnini bifadhlika ‘amman siwak.
“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan (rezeki-Mu) yang halal serta jauhkan dari yang haram. Dan berilah aku kekayaan tanpa tandingan.” Amin Ya Rabbal’alamin.
Salam Dahsyat dan Luar Biasa!
( Spiritual Motivator – N.Faqih Syarif H,S.Sos.I,M.Si, Penulis buku Al Quwwah ar ruhiyah kekuatan spirit tanpa batas. www.faqihsyarif.com dan emai mumtaz.oke@gmail.com )

Menjadi Da’i yang Baik dan Powerfull

Menjadi Da’i yang Powerfull

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan palajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (An Nahl : 125)



Sobat, sebagaimana kita mengetahui bahwa Islam adalah agama dakwah. Kalimah laa ilaha illallah merupakan inti ajaran Islam, sekaligus pendorong utama kegiatan dakwah. Dengan dakwah, Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia. Dakwah adalah misi utama kenabian Muhammad saw. Dakwah adalah ujud kepedulian, bahkan kasih sayang kita kepada sesama manusia.Salah satu ciri seorang muslim adalah kepeduliannya terhadap aktivitas dakwah.Melalui dakwah, kita dihindarkan dari sikap individualis.

Sobat, ilustrasi tuntutan dakwah yang begitu indah tentang dakwah ini dipaparkan Rasulullah Saw dalam salah satu haditsnya :

Bagaikan suatu rombongan yang naik kapal. Ada yang duduk di bagian atas, ada lagi yang duduk di bagian bawah. Dan bila ada orang di bagian bawah akan mengambil air, ia harus melewati orang di atasnya. Sehingga orang yang di bagian bawah tadi berpikiran, ”Seandainya aku melubangi tempat duduk milikku sendiri untuk mendapatkan air, tentu aku tidak akan mengganggu orang yang di atas”. Bila mereka mencegahnya, ia akan selamat dan semua isi kapal akan selamat, sementara bila mereka membiarkan, maka orang itu akan celaka begitupun semua isi kapal

Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas dakwah adalah aktivitas yang penting dan menyelamatkan masyarakat secara umum. Apa saja tujuan dakwah dalam Islam?

• Mentauhidkan Allah
• Menjadikan Islam sebagai pedoman hidup manusia sedunia dalam wadah daulah
• Menjadikan Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam
• Menggapai Ridha Allah

Adapun pahala dan balasan orang yang melakukan dakwah di jalan Allah dengan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar adalah sebagaimana yang disebutkan Rasulullah dalam sabdanya :

Siapa saja yang menyeru manusia pada petunjuk (Islam), dia pasti akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala yang diperoleh orang yang mengikuti petunjuk itu tanpa mengurangi sedikitpun pahalanya
(HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, an Nasa’I dan Ibn Majah)

Fakta keadaan umat Islam saat ini adalah kebodohan, kemiskinan, dan kemaksiatan yang merajalela, dijajah dan dibawah pengaruh negara adidaya, terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara, ukhwah Islamiyyahnya rendah dan tidak bisa menjalankan Islam secara Kaffah.

Sobat, yang kita takutkan adalah ketika dakwah ditinggalkan dan bukan merupakan hal penting bagi umat islam saat ini maka akan terjadi :
• Ditengah manusia berkembang kemusyrikan dan kekafiran
• Manusia akan hidup dengan hukum jahiliah, sehingga tidak ada rahmat. Yang ada adalah laknat
• Dunia akan dikendalikan oleh adikuasa jahiliah
• Bila dakwah ditinggalkan, bagaimana ridha Allah bisa didapat?
• Tidak akan ada daulah Islam

Di sinilah sobat, pentingnya dakwah bagi kehidupan umat Islam diantaranya adalah ; Menentukan muslim tidaknya manusia, dan kualitas kepribadiannya, menentukan tegak tidaknya hukum Islam, menentukan corak kehidupan manusia, kehidupan keluarga, lingkungan dan kehidupan masyarakat bahkan menentukan corak kehidupan dunia.

Sobat, Islam akan kembali tegak bila Islam didakwahkan ke tengah-tengah masyarakat sebagai ideologi dengan tanpa kekerasan dan diterapkan sebagaimana dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW.

Sobat, karakter apa saja yang harus dimiliki oleh seorang Da’i sehingga menjadi Da’i yang powerfull dan mampu menginspirasi umat untuk kembali kepada aturan Allah dan Rasul-Nya ? Berikut ini ada beberapa karakter Da’i yang harus kita perhatikan dan wujudkan dalam diri sebagai pengemban dakwah :

1. PERCAYA PADA MABDA’ ISLAM

Bahwa Islam adalah din yang diridhai Allah SWT dan sesuai dengan fitrah manusia, bahwa mabda’ Islam adalah solusi dari segenap problematika manusia dan bila ditegakkan akan membawa rahmat bagi semua, bahwa mabda’ selain Islam batil adanya, bahwa mendakwahkan mabda Islam hingga tegak di seantero dunia adalah perbuatan mulia dan kewajiban utama

2. BERANI DAN TEGAS

Berani karena benar. Keberanian para pejuang kebatilan lebih berhak dimiliki oleh para da’i , cukuplah Allah sebagai pelindung dan penolong. Dialah sebaik-sebaik pelindung dan penolong, ditangkap, disiksa, kehilangan pekerjaan bahkan kematian adalah risiko perjuangan. Bukankah semua orang akan mati? Rizki telah ditetapkan Allah, anda berjuang atau tidak. Surga dan kemuliaan di sisi Allah tidak didapat secara cuma-cuma. Perlu usaha.

3. SERIUS DAN SUNGGUH-SUNGGUH

Dakwah adalah pekerjaan yang sangat serius. Karenanya diperlukan kesungguhan. Dakwah menentukan tegak tidaknya Islam. Dakwah menentukan mulia tidaknya umat Islam. Dan dakwah Islam menentukan selamat tidaknya hidup kita di dunia dan akhirat. Maka, dakwah harus dihadapi sebagai persoalan hidup atau mati.Tidak ada yang lebih penting dalam hidup muslim lebih dari dakwah. Hayatu al-muslim hayatu al-dakwah. Semua yang dimiliki (harta, kedudukan bahkan nyawa) sesungguhnya hanyalah wasilah untuk dakwah

4. SABAR DAN TEGUH JIWA

Dakwah akan berhadapan dengan sejuta rintangan. Seorang da’i harus sabar dan teguh jiwa untuk menghadapi semua. Orang yang ingin menghancurkan Islam saja melakukannya dengan penuh kesabaran. Kehancuran Islam sudah demikian lama, secara sunatullah memerlukan waktu yang lama pula untuk membangunnya kembali. Sabar bersumber dari kesadaran bahwa semua memerlukan proses, dan keberhasilan adalah semata buah dari proses itu. Keteguhan jiwa bersumber dari kekuatan ruhiyah dibina melalui ibadah mahdah (shalat malam, puasa sunnah, dzikr, membaca al-Qur’an dsb)

5. TAK HENTI TERUS BELAJAR

Tidak ada kata berhenti belajar buat para da’i untuk terus menambah pengetahuan akan pemikiran, ide, hukum dan tsaqafah Islam (bhs Arab, fiqh, sirah dsb).Dari belajarlah , pemahaman bertambah, kesalahan diperbaiki sehingga kemampuan dalam berdakwah semakin meningkat.Belajar melalui membaca, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Serta belajar dari pengalaman. Maka seorang da’i tidak boleh berhenti mencoba hal baru dan berdialog dengan orang lain. Sikap open minded sangat penting bagi seorang da’i

6. TAK HENTI MEMPERBAIKI DIRI

Da’i menjadi cermin pengetahuan dan pengamalan Islam bagi masyarakat. Maka, seorang da’i harus terus memperbaiki diri. Seorang da’i harus mengamalkan apa yang diserunya. Melakukan yang ma’ruf dan meninggalkan yang mungkar. Dengan perbaikan terus menerus, akhlaq, ibadah, muamalah, keluarga dan semua yang tampak dari seorang da’i makin sempurna. Kesalahan seorang da’i akan berdampak lebih buruk daripada kesalahan orang biasa

7. BISA BEKERJASAMA

Dakwah bagi tegaknya mabda Islam harus dilakukan secara berjamaah. Tidak bisa sendirian. Membangun rumah saja perlu banyak orang, apalagi membangun rumah umat….. Seorang da’i harus bisa bekerjasama, terutama dengan sesama anggota jamaah dakwah. Keseriusan, kesungguhan, kesabaran, sikap istiqamah dalam dakwah serta upaya perbaikan dan pembelajaran terus menerus lebih mudah dilakukan dalam jamaah

Sobat, Ingatlah bahwa NABI adalah TELADAN PARA DA’I. Dan Nabi adalah da’i mulia. Dalam dirinya terkandung semua karakter utama. Para da’i sekarang harus mengaca kepadanya. Dialah teladan utama. Keyakinan Nabi akan mabda’ Islam, keseriusan, kesungguhan, kesabaran, sikap istiqamah dalam berdakwah tiada tara. Keberhasilan dakwah Nabi tidak bisa dilepaskan dari pancaran sosok pribadi Nabi. Maka, keberhasilan dakwah sekarang juga tidak bisa dilepaskan dari sosok karakter dai.
Sobat, derajat da’i di sisi Allah begitu luar biasa. Imam Al Hasan Al Bashri menyebut para da’i yang mulia sebagai: Habibullah (kekasih Allah),Waliyullah (wali Allah), Shafwatullah (pilihan Allah), Khairatullah (pilihan Allah),Khalifatullah (wakil Allah).

Marilah kita menjadi pengemban dakwah atau da’i yang powerfull dengan memahami kewajiban dan pentingnya dakwah serta berusaha sekuat tenaga memiliki karakter-karakter di atas. Artikel ini salah satu tulisan yang ada di buku saya terbaru .Semoga dalam waktu dua bulan ini bisa selesai dan segera di launching bersamaan dengan kelahiran putera kedua saya. Nantikan Buku saya berikutnya dengan tema ” Be A Powerfull Da’i : Kiat menjadi Da’i yang hebat mentraining dan menulis.” Semoga bermanfaat dan menjadi kontribusi bagi perjuangan dan penyadaran umat untuk kembali kepada Islam dan kejayaan Islam. Amin.
Salam Dahsyat dan Luar Biasa! Allahu Akabar !

( Spiritual Motivator – N. Faqih Syarif H, S.Sos.I, M.Si, Penulis Buku-buku motivasi dan pengembangan diri di antaranya ; Al Quwwah ar ruhiyah Kekuatan Spirit Tanpa Batas dan Bila Jatuh Bangunlah ! www.cahayaislam.com atau www.fikrulmustanir.blogspot.com )

HAWA MENGENALI ADAM

Hawa Mengenali Adam: Tulang Rusuk Mengenali Siapa Pemiliknya

22/3/2012 | 29 Rabbi al-Thanni 1433 H | Hits: 27.685
Oleh: Lhinblue Alfayruz

Kirim Print
“Sejak diturunkan ke bumi, Hawa terus memikirkan Nabi Adam. Bagaimana keadaannya sekarang? Apa ia sanggup hidup sendirian di bumi ini? Hawa bertekad untuk bertemu Nabi Adam. Hawa terus berjalan menyusuri bumi. Sesekali ia beristirahat sambil makan buah-buahan. Ia terus berdoa kepada Allah agar segera dipertemukan dengan Nabi Adam. Hawa tiba di sebuah padang pasir dan bukit yang sangat gersang.  Ia sudah sangat kelelahan dan hampir putus asa. Kemudian ia berdoa kepada Allah dengan sangat khusyuk. Rupanya Allah mengabulkan doanya. Hawa melihat sosok yang sangat ia kenali. Ia adalah Nabi Adam. Hawa memanggil Nabi Adam dan Nabi pun memanggil Hawa dengan penuh kerinduan. Inilah saat yang paling membahagiakan bagi mereka.”

Ilustrasi (blogspot.com)
dakwatuna.com - Itulah sepenggal kisah tentang pertemuan Adam dan Hawa di bumi dalam buku “Ensiklopedia Kisah Al-Qur’an” terbitan Gema Insani Press. Mungkin kisah ini pun menggambarkan manusia pada umumnya. Tabiat perempuan yang peduli tergambar jelas dalam penggalan cerita di atas. Hawa terus memikirkan Nabi Adam dan ingin segera bertemu dengan Nabi Adam. Apa alasannya? Ternyata, bukan karena sekadar melepas rindu dirinya pada Adam, tapi lebih memikirkan bagaimana keadaan Nabi Adam sekarang? Apakah Adam sanggup hidup sendiri di bumi? Hawa tak memikirkan dirinya sendiri. Itulah sifat dasar perempuan, ketika memutuskan sesuatu ia selalu mempertimbangkan orang lain bukan hanya kepentingan dirinya sendiri.
Ya, karena Allah menciptakan Hawa untuk menemani Adam ketika di syurga. Allah tahu bahwa Adam tak bisa hidup sendiri. Walaupun dengan kenikmatan-kenikmatan syurga yang telah ia dapatkan, tetap saja seorang Adam membutuhkan teman. Maka, Allah ciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam untuk menemani Adam di syurga.
Ketika diturunkan ke bumi dan mereka berpisah, maka naluri masing-masing pasti akan saling mencari. Dan dalam pencarian di sini digambarkan secara jelas kekhawatiran Hawa akan kondisi Adam di bumi: sanggupkah Adam hidup sendirian?
Hawa pun terus berusaha menelusuri bumi demi bertemu Adam. Uniknya, di buku ini tak diceritakan bagaimana usaha Adam menemukan Hawa, tapi lebih kepada bagaimana usaha Hawa menemukan Adam. Pastinya tak bisa dipungkiri juga bahwa tentunya Adam pun berusaha keras untuk bertemu dengan Hawa karena di syurga yang penuh kenikmatan saja Adam membutuhkan seorang teman, bagaimana dengan ketika di bumi yang berbeda jauh dari segi kenikmatan di syurga?  Tentu Adam sangat membutuhkan seorang teman terlebih ketika berada di bumi. Dan tentunya ada rasa kehilangan ketika Hawa yang biasanya menemaninya di syurga tak ada di sisinya.
Memang agak sedikit berbeda, penggambaran pertemuan itu diangkat dari sisi Hawa yang berusaha bertemu Adam. Tak diceritakan pencarian seorang Adam namun lebih ditekankan pada pencarian seorang Hawa yang menunjukkan rasa pedulinya pada Adam. Hawa terus berjalan, beristirahat, berdoa di tengah lelah. Hingga akhirnya di tengah lelah yang begitu sangat dan dalam kondisi hampir putus asa, di gurun pasir yang panas dan gersang, doa khusyuknya dikabulkan Allah dan dipertemukanlah ia dengan sosok yang ia kenal. Ya, ternyata Hawa-lah yang mengenali Adam lebih dulu ketika bertemu. Sungguh, tulang rusuk mengenali siapa pemiliknya.
Mungkin akan terlontar pertanyaan begini: “Nabi Adam dan Hawa itu kan cuma dua-duanya manusia di bumi. Jadi ketika bertemu mudah untuk saling mengenali. Lantas bagaimana dengan kita yang jumlah penduduk bumi sudah sekian milyar banyaknya? Bagaimana kita bisa tahu bahwa dialah tulang rusuk kita (bagi laki-laki) atau dialah pemilik tulang rusuk ini (bagi perempuan)?
Di sinilah letak proses ta’aruf itu berperan. Tentunya ta’aruf yang syar’i, bukan sekadar kata ta’aruf namun jauh nilai-nilainya dari sebuah proses ta’aruf. Ta’aruf lah ajang saling mengenal yang [katanya] akan terasakan di sana siapa tulang rusuk atau pemilik tulang rusuk kita.
Mari kutunjukkan kisah dua orang akhwat. Ada seorang akhwat yang merasa klop dengan seorang ikhwan, merasa saling cocok, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk ta’aruf. Dalam proses ta’aruf, ternyata istikharah sang akhwat tak mantap dan ada keraguan di sana. Ta’aruf pun kandas di tengah jalan. Awalnya sebelum ta’aruf, sang akhwat menganggap bahwa ikhwan itulah pemilik tulang rusuknya. Tapi ternyata, setelah ta’aruf, bukan ikhwan itu pemilik tulang rusuknya.
Qadarullah, sang akhwat dipertemukan dengan seorang ikhwan yang belum pernah dikenal dan dipertemukan dalam sebuah proses ta’aruf. Sang akhwat pun mantap, tak ada keraguan sedikit pun dalam istikharahnya. Akhirnya, mereka menikah.
Satu lagi, ada seorang akhwat yang memblacklist seorang ikhwan untuk menjadi calon suaminya karena merasa tidak cocok secara karakter. Namun ternyata sang ikhwan berkeinginan untuk ta’aruf dengan sang akhwat. Awalnya sang akhwat menolak untuk berta’aruf dengan sang ikhwan. Atas nasihat sang guru ngaji dan istikharah beberapa kali, sang akhwat pun mencoba untuk berta’aruf dengan ikhwan yang dimaksud. Hingga akhirnya, mereka menikah.
Terlihat jelas bukan? Bahwa memang hanya sebuah proses ta’aruf yang syar’i-lah yang bisa mendatangkan petunjuk Allah. Dan sebaik-baik petunjuk itu adalah petunjukNYA.
Ada sebuah penggalan dalam artikel yang pernah dibaca:
“Kalau kita tidak mau mencoba ta’aruf, bagaimana mungkin kita tahu ia jodoh kita atau bukan. Kalau kita ta’aruf, kita akan tahu. Jika berhasil, berarti jodoh. Kalau belum berhasil, berarti belum jodoh. Iya, kan?!”
(untuk baca lebih lengkapnya bisa klik di sini.)
Jadi, memang benar, kita takkan pernah tahu siapa jodoh kita di dunia, kita takkan pernah tahu siapa pemilik tulang rusuk kita (bagi perempuan), atau siapa tulang rusuk kita yang belum ditemukan (bagi laki-laki), sebelum proses ta’aruf. Dari proses ta’aruflah, Allah memberikan petunjukNYA, menunjukkan siapa yang terbaik untuk kita.
So, buat para ikhwan yang sedang merasa seseorang itu sebagai tulang rusukmu, cobalah ta’aruf dulu. Baru kamu bisa bilang kalau dia tulang rusukmu atau bukan setelah proses ta’aruf. Dan tentunya disertai musyawarah dan istikharah. Dua hal inilah yang tak boleh ditinggalkan ketika proses ta’aruf.
Dan buat para akhwat yang berkali-kali gagal dalam proses ta’aruf, yakinlah memang mungkin belum saatnya dipertemukan dengan pemilik tulang rusukmu. Bersabarlah dan teguhkanlah kesabaranmu. Insya Allah semua kan indah pada waktunya.
Pada akhirnya, sebaik-baik jodoh adalah jodoh di akhirat, jodoh yang kekal. Namun sejatinya kita takkan pernah tahu siapa jodoh kita di akhirat. Karena belum tentu jodoh di dunia juga otomatis jodoh di akhirat. Maka yang bisa diikhtiarkan saat ini adalah mencari jodoh di dunia untuk membawanya menjadi jodoh di akhirat pula.
“Ya Allah Ya Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami nikmat di dunia dan juga nikmat di akhirat. Dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka…”
Aamiin…
dia
sebuah nama yang belum tereja
dia
sebuah rupa yang belum tersketsa
dia
sebuah sosok yang entah dimana
dia
calon nahkoda
sebuah biduk rumah tangga
dia
kuyakin ada
karna hati yang merasa
Rabbana
Jaga ia di manapun berada
Mudahkan langkahnya
Tunjukkan jalannya
Luruskan niatnya
Bulatkan tekadnya
Mantapkan hatinya
Berkahilah rizkinya
Hingga akhirnya
KAU pertemukan aku dengannya
Dalam suatu ikatan suci nan mulia
Mitsaqan ghalizha

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/03/19099/hawa-mengenali-adam-tulang-rusuk-mengenali-siapa-pemiliknya/#ixzz26ilGD8Ju

Jalan Sang Dai – Mekkah, Karakter Alami Pemikul Risalah

Jalan Sang Dai – Mekkah, Karakter Alami Pemikul Risalah

15/11/2011 | 18 Dhul-Hijjah 1432 H | Hits: 1.681
Oleh: Muhammad Elvandi, Lc
Kirim Print
dakwatuna.com - Bukan karena di Mekkah dakwah Islam akan berhasil sedang di tempat lain tidak terjamin kesuksesannya seperti analisis beberapa sejarawan. Jika seperti itu, artinya Islam tidak mampu dimulai selain dari Mekkah. Islam hanya cocok untuk Arab. Islam tidak lebih hebat dari Mekkah. Bukan seperti itu. Karena Islam pasti tertancap di bumi ini, di manapun ia bermula dan bergerak. Tanpa limitasi teritori.

Lalu mengapa Mekkah? Mengapa tidak Mesir seperti nabi-nabi sebelumnya, atau di negeri besar penuh peradaban seperti Roma dan Persia, atau negeri bersejarah tua seperti India atau Cina?

Hanya Allah yang tahu dengan kesempurnaan ilmu dan ketelitiannya memilih tempat. Namun dalam konteks meneliti jalan dakwah sang dai, perlu analisis tentang mengapa Mekkah yang dipilih Allah.

Satu hal yang pasti, bahwa tidak setangkai dahan patah atau senafas angin bertiup tanpa sebab. Dan kisah agung Sang Dai dari awal markas dakwahnya lebih tidak mungkin tanpa sebab. Mencari rahasia Mekkah berarti menelusuri kualitasnya, sehingga kualitas ini menjadi model paling sempurna bagi dai untuk direkonstruksi di masa kini dan masa depan. Kualitas itu ada pada kesederhanaan manusianya. Orang-orang Arab yang tinggal di sana. Mereka punya budaya. Budaya itu adalah sejarah, tabiat, bahasanya.

Dr. Raghib as-Sirjani menyebut sepuluh hikmah dari kesederhanaan Mekkah yang justru memberikan kekuatan bagi dakwah Islam. Pertama, kemurnian risalah. Manusia-manusia Arab tidak mempunyai sejarah berfilsafat. Satu-satunya pegangan hidup mereka adalah agama Ibrahim yang masih ada sedikit sisanya, di sedikit orang. Mereka adalah manusia paling sederhana dalam hidup. Menjadi ekor peradaban dan penonton kehidupan. Bahkan hati mereka lebih dekat dengan gurun dibanding kota metropolit. Berbeda dengan Yunani yang ribuan tahun mabuk dalam filsafat, atau Roma yang sibuk dengan seabreg undang-undang, hukum-hukum, dan filsafat warisan. Apalagi Cina dengan filosofi kentalnya, atau Persia dengan ajaran Zoroasternya dan India dengan sistem kastanya.

Lalu dari ketiadaan filsafat, pemikiran dan undang-undang itu muncullah Islam yang dibawa Rasulullah di tengah masyarakat Mekkah, menawarkan seperangkat aturan hidup. Dalam kondisi seperti ini pun masih ada yang menuduh bahwa Muhammad berguru, mengkaji, berkelana mencari data dan konsep untuk mengarang Qur’an. Lalu bagaimana jika ia turun di tempat lain, nyaringlah suara-suara yang menuduh bahwa Risalah itu hasil modifikasi filsafat Yunani klasik, atau ajaran Zoroaster yang disempurnakan, atau filosofi Cina yang diarabkan. Bahkan Allah tidak menurunkan risalah ini di Palestina, agar manusia tidak mengatakan Islam hanyalah corak baru ajaran Yahudi dan Nasrani, bahwa Muhammad merevisi Taurat dan Injil sedikit-sedikit. Semua itu terbantahkan karena karakter Arab Mekkah yang primitif saat itu tidak mempunyai pengalaman dengan ajaran manapun. Kesederhanaan Mekkah menjamin orisinalitas ajaran Muhammad, bahwa Qur’an yang dibawanya bukanlah produk manusia tapi kalam Pencipta semesta. Dalam kesederhanaan inilah kualitasnya.

Kedua, mukjizat militer. Penduduk Mekkah tidak pernah mempunyai pasukan khusus sepanjang sejarahnya, apalagi tentara terlatih yang terorganisir. Karakter mereka adalah berpecah dan berperang antar suku, hingga dalam satu syair “jika tak lagi kami dapati musuh, maka kuganggu saudaraku agar perang mulai tumbuh”. Lalu tiba-tiba saja setelah datang Islam, pejuang-pejuang lokal seperti Khalid, Amr bin ‘Ash, Qa’qa bin Amr, Zaid bin Haritsah, Muhammad bin Maslamah, Abu ‘Ubaidah al-Jarrah menjulang namanya ke langit sejarah. Bahkan dalam buku ‘‘Prinsip-prinsip Peperangan’’ karangan Napoléon Bonaparte, strategi-strategi militer Khalid tertulis dengan rinci di sana. Dalam 13 tahun setelah Rasulullah wafat Persia yang berumur ribuan tahun ditaklukkan, dalam waktu itu pula mayoritas daerah kekuasaan Roma yang perkasa diambil alih.

Jika penaklukan-penaklukan spektakuler ini digelar oleh sebuah kerajaan yang mempunyai sejarah militer panjang, senjata lengkap, dalam sebuah wilayah besar tentu tidak aneh. Tapi mustahil manusia-manusia gurun yang sederhana yang tanpa pengalaman mampu meraih kesuksesan militer yang gilang gemilang kecuali dengan sentuhan Ilahi. “…bukan engkau yang melempar saat engkau melempar, tapi Allah yang melempar, dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin…” [Al-Anfal: 17]

Karakter alami Mekkah ini justru semakin menampakkan kualitas Islam. Dan kualitas inilah yang perlu direkonstruksi di zaman ini. Karena kualitas ini adalah kaidah-kaidah untuk membangun umat kapan pun itu.

Yaitu umat harus menjaga orisinalitas sumber agamanya [Qur’an dan Sunnah] dari tuduhan dan penodaan; dan keyakinan bahwa Allahlah yang mutlak memberikan kemenangan-kemenangan gemilang Islam walau umat dalam jumlah yang sedikit.

Inilah dua dari sepuluh hikmah Mekkah yang menjadi kekuatan Islam. Saat kualifikasi tersebut terpenuhi di generasi ini, maka bendera Islam perlu dijahit kembali. Karena para dai akan memasangnya pada tombak dakwah dan akan kokoh menggenggamnya untuk menaikkannya kembali ke puncak peradaban.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/11/16550/jalan-sang-dai-mekkah-karakter-alami-pemikul-risalah/#ixzz26ikefsZP

Mencermati Angka-Angka Dalam Dakwah Rasulullah Fiqih Dakwah, Sirah Nabawiyah

Mencermati Angka-Angka Dalam Dakwah Rasulullah

22/3/2007 | 05 Rabbi al-Awwal 1428 H | Hits: 16.821
Oleh: Musyafa Ahmad Rahim, Lc
Kirim Print
dakwatuna.com – Ada banyak orang yang momok dengan angka-angka. Mungkin karena semenjak Sekolah Dasar, ia telah “dicekoki” dengan Matematika yang sering diplesetkan menjadi mati-matian. Mungkin juga karena angka sangat terkait dengan uang, dan ternyata, ia gampang-gampang susah didapatnya, bahkan lebih sering susah dan sulitnya. Mungkin juga keseringan menghitung angka-angka, akan tetapi tidak pernah ada wujud dan hasilnya. Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Di dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 65-66, Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَفْقَهُونَ (٦٥) الآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (٦٦)
65. Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti [1].
66. sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.
Ada banyak orang yang momok dengan angka-angka. Mungkin karena semenjak Sekolah Dasar, ia telah “dicekoki” dengan Matematika yang sering diplesetkan menjadi mati-matian. Mungkin juga karena angka sangat terkait dengan uang, dan ternyata, ia gampang-gampang susah didapatnya, bahkan lebih sering susah dan sulitnya. Mungkin juga keseringan menghitung angka-angka, akan tetapi tidak pernah ada wujud dan hasilnya. Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Saat saya bersama anak-anak dan keluarga menonton VCD The Amazing Child, sebuah VCD yang mengisahkan bocah berusia 5 tahun yang telah hafal Al-Qur’ân Al-Karîm, dan bahkan mampu menjelaskan dan memahami kandungannya, saya dikejutkan oleh sebuah pertanyaan yang diajukan kepada sang bocah, yang isinya, meminta kepadanya untuk menyebutkan angka-angka di dalam Al-Qur’ân, dan dengan cekatan nan fashîh, sang bocah pun membaca ayat-ayat yang berisi penyebutan angka-angka.
Kenapa saya terkejut dengan pertanyaan seperti ini? Sebab, beberapa waktu yang lalu, saya juga dikejutkan oleh “protes” atau ekspresi momok sebagian aktivis dakwah terhadap angka-angka.
Dari dua kejutan ini, saya pun mencoba mencari-cari, adakah angka-angka di dalam Al-Qur’an, dan juga dalam sirah (perjalanan) hidup nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-?
Jawaban bocah dalam VCD yang saya tonton, memberi inspirasi kepada saya untuk mencoba mencermati angka-angka ini, yang di antara hasilnya adalah sebagai berikut:
Al-Qur’ân Al-Karîm telah menyebutkan beraneka macam angka, mulai dari pecahan, satuan, belasan, puluhan, ratusan, ribuan dan bahkan ratusan ribu.
Angka-angka pecahan yang disebutkan Al-Qur’ân adalah seperdelapan (1/8), seperenam (1/6), seperempat (1/4), dan setengah (1/2).
Angka-angka satuan, belasan, puluhan, ratusan dan ribuan yang disebutkan Al-Qur’ân adalah satu (1), dua (2), tiga (3), empat (4), lima (5) enam (6), tujuh (7), delapan (8) dan sembilan (9), sepuluh (10), sebelas (11), dua belas (12), sembilan belas (19), dua puluh (20), tiga puluh (30), empat puluh (40), lima puluh (50), enam puluh (60), tujuh puluh (70), delapan puluh (80), seratus (100), dua ratus (200), tiga ratus (300), sembilan ratus lima puluh (950), seribu (1000), dua ribu (2000), tiga ribu (3000), lima ribu (5000) dan angka terbesar yang disebutkan Al-Qur’ân Al-Karîm adalah seratus ribu (100.000).
Kesimpulan sementara saya setelah mendapatkan angka-angka ini: “ternyata, Al-Qur’ân Al-Karîm menyebutkan angka-angka”, karenanya, kita tidak boleh alergi atau momok dengan angka-angka.
Bagaimana dengan perjalanan hidup (sîrah) Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-?
Bila kita mencoba merunut (membaca secara berurutan) perjalanan hidup (sîrah) beliau –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-, ternyata, semenjak awal, para penutur (yang menuturkan dan mengisahkan) serta penulis sîrah beliau, juga sudah akrab dengan angka-angka.
Dalam kitab Al-’Ibar Fî Durûs (Khabar) Man Ghabar, dalam peristiwa tahun 17 H, Al-Hâfizh Al-Dzahabî menulis:
وَفِيْهَا تُوُفِّيَ عُتْبَةُ بْنُ غَزْوَانَ اَلْمَازِنِيّ، أَحَدُ السَّابِقِيْنَ اَلأَوَّلِيْنَ. يُقَالُ أَسْلَمَ سَابِعَ سَبْعَةٍ
Pada tahun tujuh belas Hijriyah (17 H) telah wafat ‘Utbah bin Ghazwân Al-Mâzinî –radhiyallâhu ‘anhu-; salah seorang yang pertama-tama masuk Islam, ada pendapat mengatakan bahwa dia adalah orang yang masuk Islam dengan nomor urut tujuh. [lihat juga Mushannaf Ibn Abî Syaibah juz 8, hal. 45, 199, 452).
Dalam riwayat lain, yang menempati nomor urut ketujuh adalah Sa'ad bin Abî Waqqâsh –radhiyallâhu 'anhu- [Al-Sunan Al-Kubrâ karya Al-Baihaqi juz 1, hal. 106, lihat pula: Ma'ânî Al-Qur'ân, karya Al-Nahhâs saat menafsirkan Q.S. Al-Mâidah: 12).
Riwayat lain mengatakan bahwa yang menempati nomor urut ketujuh adalah Utsmân bin Al-Arqâm [Al-Mustadrak, karya Al-Hâkim, hadîts no. 6181].
Siapapun yang benar darinya tidaklah penting [2], yang terpenting di sini adalah bahwa semenjak awal, masalah angka-angka dalam sîrah nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- telah menjadi perhatian para penutur dan penulis sejarah perjalanan hidup beliau –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- ini.
Dan setelah beliau ­–Shallallâhu ‘alaihi wa sallam- hijrah ke Yatsrib (kemudian dikenal sebagai Al-Madinah atau kota nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-), dan Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- mulai mengizinkan peperangan kepada kaum muslimin, para penulis sîrah menyuguhkan data-data angka sebagai berikut:
Tahun
Peristiwa
Pasukan Islam
Keterangan
Dua (2)
Perang Badar
313

Tiga (3)
Perang Uhud
1000 (700)
300 orang pulang
Lima (5)
Perang Ahzâb
3000

Delapan (8)
Fathu Makah
10.000

Sembilan (9)
Perang Tabuk
30.000

Ada empat hal yang menarik dari angka-angka di atas, yaitu:
  1. Ada pertumbuhan cepat jumlah pasukan Islam dari tahun ke tahun. Dari Badar ke Uhud (tempo satu tahun) telah terjadi pertumbuhan jumlah pasukan Islam sebanyak tiga kali lipat (300%), begitu juga dari Uhud ke Ahzâb (tempo dua tahun). Yang menarik adalah pertumbuhan dari tahun ke lima (Ahzâb) ke tahun delapan (Fathu Makah), sebab, dalam tempo tiga tahun, pasukan Islam telah berlipat ganda menjadi 10.000 pasukan (lebih dari 300%).
  2. Suasana “damai” atau genjatan senjata dengan pihak Makah melalui Shulh Hudaibiyah (perdamaian Hudaibiyah) pada tahun 6 Hijriyah, telah dioptimalkan oleh Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- untuk menyebar luaskan dakwah seluas-luasnya, di samping untuk menyelesaikan urusan strategis lainnya, misalnya: penyerbuan ke benteng Yahudi di Khaibar (tahun 7 H).
  3. Pada tahun 9 Hijriyah dan “hanya” dalam tempo satu tahun, jumlah pasukan Islam telah berlipat ganda menjadi 30.000 pasukan (300%). Hal ini terjadi karena Makah yang menjadi musuh dakwah telah tidak ada dan berubah menjadi bagian dari pendukung dakwah.
  4. Ada pertumbuhan yang relative “terjaga” dari jumlah pasukan Islam, yaitu sekitar 300%, walaupun tempo yang dilaluinya berbeda-beda.
Adanya angka-angka pertumbuhan seperti ini, menjadikan kita bertanya-tanya: adakah angka-angka seperti ini terjadi secara kebetulan (‘afwiyyan), ataukah memang ada perencanaan atau design yang telah dibuat sebelumnya?
Jika kita menengok kepada tahun dua Hijriyah, saat beliau –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- belum lama tiba di Madinah, yaitu saat itu beliau memerintahkan kepada kaum muslimin untuk melakukan sensus tertulis terhadap semua orang yang telah menyatakan masuk Islam, rasanya terlalu jauh kalau kita berpendapat bahwa angka-angka pertumbuhan seperti di atas terjadi secara kebetulan. Pemahaman yang lebih dekat kepada kebenaran (jika tidak kita katakana kebenaran) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hal itu memang sesuatu yang direncanakan oleh Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-
Dalam kitab Shahîh Muslim disebutkan sebagai berikut:
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ : كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَحْصُوا لِي كَمْ يَلْفِظُ اْلإِسْلاَمَ، قَالَ : فَقُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَخَافُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ مَا بَيْنَ السِّتِّ مِائَةٍ إِلَى السَّبْعِ مِائَةٍ! [رواه مسلم، رقم 149]
Dari Hudzaifah –radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: Kami bersama Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-, lalu beliau bersabda: “Lakukanlah ihshâ’ untukku berapa orang yang telah menyatakan Islam”. Hudzaifah berkata: ‘maka kami berkata: ‘Wahai Rasulullâh, adakah engkau mengkhawatirkan kami? Sementara jumlah kami antara 600 sampai tujuh ratus! .. [H.R. Muslim, no. 149]
Dan di dalam kitab Shahîh Bukhârî disebutkan:
عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اكْتُبُوا لِي مَنْ تَلَفَّظَ بِاْلإِسْلاَمِ مِنْ النَّاسِ، فَكَتَبْنَا لَهُ أَلْفًا وَخَمْسَ مِائَةِ رَجُلٍ … عَنْ الأَعْمَشِ : فَوَجَدْنَاهُمْ خَمْسَ مِائَةٍ قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ : مَا بَيْنَ سِتِّ مِائَةٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةٍ [البخاري، رقم 3060]
Dari Hudzaifah –radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: Nabi –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tuliskan untukku orang-orang yang telah menyatakan Islam”. Maka kami menuliskan untuk beliau seribu lima ratus laki-laki … Dari Al-A’masy: Maka kami mendapati mereka berjumlah 500. Abû Mu’âwiyah berkata: antara 600 – 700 [H.R. Bukhârî, no. 3060]
Beberapa Komentar Terhadap Dua Riwayat Ini
  1. Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhawî: “Kalau saja terjadi pengkodifikasian ulang hadîts, maka saya mengusulkan agar dua riwayat ini dimasukkan ke dalam kitâb al-’ilm (kumpulan hadîts yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan), sebab, al-ihshâ’ (penghitungan, kalkulasi, sensus dan statistic) merupakan dasar berbagai macam ilmu pengetahuan”. [lihat: Al-Rasûl wa al-'Ilm].
  2. Menurut Al-Dâwudî, angka-angka yang disebutkan dalam riwayat ini tidaklah kontradiktif, sebab, ada kemungkinan ihshâ’ dilakukan berkali-kali. [Fath al-Bârî saat mensyarah hadîts di atas].
  3. Menurut Ibn Al-Munîr, sensus tertulis tidaklah kontradiktif dengan keberkahan, bahkan, penulisan yang diperintahkan itu merupakan kemaslahatan agama. [Fath al-Bârî saat mensyarah hadîts di atas].
Beberapa Tambahan Komentar
  1. Dalam terjemahan sederhana, kata ihshâ’ berarti: menghitung. Namun, dalam konteks ilmiah, ihshâ’ juga bermakna kalkulasi, sensus dan bahkan statistic dan grafik. Makna inilah yang oleh Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhaî –hafizhahullâh- disebut sebagai dasar ilmu pengetahuan modern, karenanya beliau mengusulkan agar hadîts ini dimasukkan ke dalam kitâb al-’ilm. Wallâhu a’lam.
  2. Dua riwayat yang “berbeda”, di mana yang satunya menyebutkan uhshû dan satunya mengatakan uktubû, juga tidak kontradiktif, sebab bisa digabungkan dan saling melengkapi, sehingga bisa dipahami bahwa perintah Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- kepada para sahabat adalah agar mereka melakukan ihshâ’ secara tertulis, dan tidak cukup sekedar lisan sahaja. Hal ini menegaskan betapa penting peranan ihshâ’ tertulis ini, agar data benar-benar valid dan akurat.
  3. Perbedaan angka-angka sebagaimana disebut dalam periwayatan hadîts ini, dan sebagaimana dipahami tidak kontradiktif oleh Al-Dâwûdî, juga bisa dipahami bahwa para sahabat nabi terus dan selalu melakukan apa yang di zaman sekarang disebut dengan istilah updating data atau pemutakhiran data dari waktu ke waktu, dan ternyata, updating itu menunjukkan adanya pergerakan naik yang terus menerus; 500, 600, 700 dan 1500. Wallâhu a’lam.
Dari semua keterangan ini, kita bisa memahami dan menyimpulkan bahwa pertumbuhan angka-angka bisa kita katakan telah direncanakan atau by design, dan bukan ‘afwiyyah (kebetulan).
Catatan Kaki:
[1] Maksudnya: mereka tidak mengerti bahwa perang itu haruslah untuk membela keyakinan dan mentaati perintah Allah. mereka berperang hanya semata-mata mempertahankan tradisi Jahiliyah dan maksud-maksud duniawiyah lainnya.
[2] Kemungkinan yang rajîh adalah isyarat Al-Dzahabî di atas, berdasarkan pada riwayat yang dikeluarkan oleh Ibn Abî ‘Âshim sebagai berikut:
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخ ، وَهُدْبَة بْنُ خَالِد ، قَالاَ : ثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيْرَةَ ، نَا حُمَيْدٌ بْنُ هِلاَل ، عَنْ خَالِدٍ بْنِ عُمَيْر ، قَالَ : خَطَبَنَا عُتْبَةُ بْنُ غَزْوَان رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، فَحَمِدَ اللهَ تَعَالَى ، وَأَثْنَى عَلَيْهِ ، ثُمَّ قَالَ : « لَقَدْ رَأَيْتُنِي سَابِعَ سَبْعَةٍ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، مَا لَنَا طَعَامٌ إِلاَّ وَرَقُ الشَّجَرِ ، حَتَّى خَرَجَتْ أَشْدَاقُنَا، فَالْتَقَطْتُ بُرْدَةً، فَشَقَقْتُهَا بَيْنِيْ وَبَيْنَ سَعْدٍ بْنِ مَالِكٍ
[الآحاد والمثاني لابن أبي عاصم]
281- Telah menceritakan kepada kami Syaibân bin Farrûkh dan Hudbah bin Khâlid, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Sulaimân bin Al-Mughîrah, ia berkata: telah memberitakan kepada kami Humaid bin Hilâl, dari Khâlid bin ‘Umair, ia berkata: Telah menyampaikan khutbah kepada kami ‘Utbah bin Ghazwân – radhiyallâhu ‘anhu-, lalu ia memuji Allâh Ta’âlâ dan memuji-Nya, kemudian ia berkata: “Saya telah melihat diriku sebagai yang ketujuh dari tujuh orang bersama Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-, kami tidak memiliki makanan apapun selain dedaunan pohon, sehingga ujung bibir kami sampai keluar, lalu aku menemukan selembar kulit, maka saya belah menjadi dua bagian, sebagian untukku dan sebagian lagi untuk Sa’ad bin Malik (Abî Waqqâsh)“. [Al-Âhâd wa Al-Matsânî, karya Ibn Abî 'Âshim]. Wallâhu a’lam.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2007/03/134/mencermati-angka-angka-dalam-dakwah-rasulullah-saw/#ixzz26iiPteCM

PROFESIONALISME DALAM DAKWAH

Profesionalisme Dalam Dakwah

5/2/2008 | 26 Muharram 1429 H | Hits: 4.539
Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
Kirim Print
dakwatuna.com“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah (argumentasi) yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (Yusuf: 108)
Kata kunci dari ayat ini seharusnya adalah kata “Bashirah” yang merupakan acuan profesionalitas dalam Islam. Semakin luas dan tajam bashirah seseorang, akan semakin profesional menggeluti bidang kerjanya. Apalagi konteks ayat ini jelas dalam konteks dakwah yang merupakan pekerjaan yang paling mulia. Dalam ayat ini Allah mendampingkan proses kewajiban dakwah dengan bashirah sebagai sebuah faridhah syar’iyyah yang dituntut oleh Islam. Justru kehidupan ini diciptakan oleh Allah diantaranya memang untuk menguji siapa yang benar-benar ihsan (baca: profesional) dalam beramal. “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (Al-Mulk: 2).
Ibnu Katsir mengidentifikasi bashirah sebagai sebuah keyakinan yang berlandaskan argumentasi syar’i dan aqli yang kokoh, serta tidak taklid buta. Menurut Syaukani, bashirah adalah pengetahuan yang mampu memilah yang hak dari yang bathil, yang benar dari yang salah dan begitu seterusnya. Inilah bangunan profesionalisme dalam dakwah yang tegaskan oleh ayat di atas; yaitu beramal dan berdakwah atas dasar ilmu, keyakinan, tiada keraguan apalagi persepsi yang tidak benar terhadap dakwah. Disinilah peri pentingnya sebuah pembinaan yang kontinu – meskipun – terhadap da’i, karena da’i lah justru inti dari sebuah proses dakwah. Bahkan dikatakan dalam sebuah pepatah “beramal tanpa ilmu lebih banyak merusaknya daripada memperbaiki”.
Agar rasa dan sikap profesionalitas tampil, maka segala aktifitas seseorang harus diawali dengan sebuah kesadaran “nawaitu” yang benar. Diawali dengan taubatan nasuha yang akan memperbaiki hubungan dengan Allah. Salah dan bergesernya niat akan turut mempengaruhi kinerja seseorang dan mengakibatkan kerja yang asal-asalan, tidak sempurna dan cenderung apa adanya. Sofyan Tsauri pernah mengungkapkan: “Tidak ada sesuatu yang lebih aku perhatikan selain dari niat”. Inilah rahasianya kenapa setiap amal dalam Islam harus didasari niat yang benar dan tulus karena Allah. Rasa takut akan pertanggung jawaban dakwah di hadapan Allah juga akan turut memperkuat keseriusan dan kejelasan dakwah seseorang. Inilah maksud firman Allah swt: “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan”. (33: 39)
Dalam konteks ini, Dr. Ali Abdul Halim Mahmud menegaskan bahwa “Ahliyyatud Du’at” (baca: kualifikasi dan profesionalisme para da’i) merupakan persoalan besar dalam dakwah yang harus diperhatikan dengan baik dan tidak boleh diabaikan dalam keadaan apapun. Karena para da’i dari kalangan nabipun merupakan manusia pilihan Allah, “Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia; sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Al-Hajj: 75). Selanjutnya Ibnu Qayyim merumuskan beberapa bangunan profesionalisme dakwah yang ternyata diawali dengan persoalan ilmu: Memiliki landasan ilmu atas apa yang ia sampaikan (Al-Ilmu Bima Yuballigh) yang diteruskan secara implementatif dengan sikap jujur dan benar terhadap apa yang ia sampaikan (Ash-Shidqu Fima Yuballigh) . Disinilah kedudukan ilmu sebagai pondasi dalam beramal. “Setiap orang yang beramal tanpa ilmu, maka amalnya tertolak, tidak diterima”.
Seorang yang profesional adalah seorang yang tekun, sabar dan tahan godaan, senantiasa dinamis dan mencari kreatifitas baru dalam berdakwah, karena memang ia tidak akan pernah setuju dan rela jika dakwah ini vakum, berjalan di tempat dan tidak mendapat tempat di hati umat. Contoh paling fenomenal adalah nabi Nuh as. Ditengah penolakan kaumnya, ia tetap mencari terobosan baru dalam berdakwah agar keberlangsungan dakwah bisa dipertahankan. Ia tetap komit dan tegar, bahkan mencari alternatif sarana dakwah yang beragam sesuai dengan kondisi dan tuntutan kaumnya: “Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran)…… Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam”. (Nuh: 5-9).
Disinilah profesionalitas kita akan terus diuji dengan beragam ujian sehingga akan lahir kaliber manusia yang diabadikan oleh Allah sebagai kelompok yang tetap tegar dan jujur dalam dakwah mereka, “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya)”. (Al-Ahzab: 23). Inilah prinsip yang senatiasa dipegang oleh para pendahulu dakwah, karena mereka yakin bahwa kecintaan Allah hAnya akan dianugerahkan kepada mereka yang beramal dengan tulus, cerdas, tuntas dan serius. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah cinta jika hambaNya beramal dengan itqan”. Itqan dalam arti berbuat lebih banyak, lebih bermutu dan berkualitas dari umumnya orang mampu berbuat dan bekerja, seperti yang Allah gambarkan tentang kelompok manusia muhsin yang mampu beramal, lebih tinggi di atas rata-rata kebanyakan manusia sanggup beramal. “Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat dengan ihsan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar”. (Adz-Dzariyat: 16-18)
Ruang dakwah ke depan memang akan menuntut lebih profesionalisme kita dalam konteks “keilmuan” yang bisa dipertanggungjawabkan (bashirah) sehingga dakwah citra dakwah ini akan tetap baik seiring dengan permasalahan dan perkembangan dunia global yang lebih menantang. Mari ciptakan suasana ilmiyyah yang merupakan komponen dasar dari profesionalitas dalam dakwah kita. Allahu a’lam

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/02/384/profesionalisme-dalam-dakwah/#ixzz26ihv3YWs

BERANI DI JALAN DAKWAH

Berani Di Jalan Dakwah

27/5/2008 | 22 Jumada al-Ula 1429 H | Hits: 4.156
Oleh: Tim dakwatuna.com
Kirim Print
dakwatuna.com – Kehidupan dunia ini diiringi kesulitan demi kesulitan (Al Balad: 4). Sehingga, kesulitan adalah sesuatu yang tak bisa dielakkan. Itu realita perjalanan dunia ini. Kesulitan menjadi risiko hidup. Tak seorang pun yang lepas dari kenyataan itu. Namun yang acapkali terjadi adalah takut terhadap risiko yang bakal muncul lantaran kekerdilan jiwa untuk menghadapinya. Lalu timbullah ketakutan-ketakutan. Rasa ketakutan ini cuma menggiring seseorang menjadi pengecut. Dan akhirnya lari dari kenyataan.
Sifat pengecut dipandang sebagai sifat tercela yang tidak boleh dimiliki orang-orang yang beriman. Karena pengecut artinya ia tidak mau menanggung dan menghadapi risiko yang memang sudah menjadi konsekuensinya. Perilaku ini merupakan perilaku orang-orang yang setengah hati dalam keimanan, hanya ingin serba enak tanpa harus bersusah payah menghadapi masalah rumit. Sifat pengecut akan menjadi penghalang untuk maju dan pemberat langkah kesuksesan.
Saat ini dunia dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki sifat pengecut. Sebuah hadits Nabi saw. memprediksikan di suatu masa umat Islam akan menjadi bulan-bulanan dan santapan empuk musuh-musuh Islam karena sudah mengidap penyakit wahn, yakni cinta dunia dan takut mati. Memang, penyakit wahn-lah yang menyebabkan umat Islam banyak yang menjadi pengecut sehingga tidak lagi disegani oleh musuh-musuhnya yakni kaum kafir, musyrikin dan munafikin.
Islam memandang hina orang yang pengecut. Baik pengecut untuk mempertahankan hidup sehingga gampang putus asa. Pengecut lantaran takut dikucilkan dari komunitasnya. Pengecut karena berlainan dengan sikap banyak orang. Atau pengecut untuk membela sebuah nilai. Kemudian menjerumuskan pelakunya pada sikap yang plin-plan tanpa prinsip. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu menjadi orang yang tidak punyai sikap. Bila orang melakukan kebaikan maka aku pun melakukannya. Namun bila orang melakukan keburukan maka aku pun ikut melakukannya juga. Akan tetapi jadilah orang yang punya sikap dan keberanian. Jika orang melakukan kebaikan maka aku melakukannya. Namun jika orang melakukan keburukan maka aku tinggalkan sikap buruk mereka.” (Tirmidzi)
Allah swt. selalu menggelorakan orang-orang yang beriman agar jangan takut, jangan pengecut. Karena rasa takut akan membawa kegagalan dan kekalahan. Akan tetapi keberanian menjadi seruan yang terus berulang-ulang dikumandangkan. Karena keberanian adalah tuntutan keimanan. Iman pada Allah swt. mengajarkan menjadi orang-orang yang berani menghadapi beragam risiko dalam hidup ini terlebih lagi, risiko dalam memperjuangkan dakwah ini.
Syaja’ah atau keberanian merupakan jalan untuk mewujudkan sebuah kemenangan dan sebagai izzah keimanan. Tak pernah boleh ada, kata gentar bagi kader dakwah saat mengemban tugas bila ingin meraih kegemilangan. Dari sisi inilah kaum yang beriman berada jauh di atas kebanyakan orang. Karena izzah keimanan menuntun mereka untuk tidak takut dan gentar sedikitpun.
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. (Ali Imran: 139)
Dahulu yang membuat gentar musuh-musuh Islam adalah keberanian pejuang-pejuang Islam yang menghambur ke medan perang dengan suka cita karena pilihannya sama-sama baik yakni hidup mulia dengan meraih kemenangan atau mati syahid di jalan Allah. Bahkan mereka jauh mencintai kemuliaan sebagai syahid sebagaimana kecintaan kaum kafir terhadap dunia. Dengan sikap ini kaum muslimin banyak memperoleh anugerah kemenangan dakwah di berbagai tempat.
Orang-orang kafir amat takut terhadap orang-orang yang beriman yang memiliki prinsip ini. Sehingga mereka berupaya agar sifat berani tidak bersemayam dalam diri orang-orang mukmin. Lalu mereka takut-takuti kaum muslimin dengan situasi dan kondisi masa depan yang suram, ancaman, teror, intimidasi atau tekanan-tekanan lainnya agar umat ini tidak lagi berani memperjuangkan nilai dan norma yang diyakininya. Akhirnya timbullah sikap takut yang luar biasa hingga melemahkan semangat juangnya.
Oleh karena itu jangan tertipu oleh upaya orang-orang kafir untuk menghilangkan sifat syaja’ah. Sebab syaja’ah merupakan harga diri orang-orang beriman. Lantaran sifat itu sebulan sebelum kedatangan kaum muslimin orang-orang di Babylonia telah lari tunggang langgang mendengar umat Islam akan tiba di negeri mereka. Sampai-sampai Khalid bin Walid r.a. menenangkan masyarakat Romawi agar tidak perlu teramat takut pada kaum muslimin karena kedatangan umat Islam hanya untuk menyerukan Islam dan mengajak mereka menghamba pada Allah swt. semata.
Asy syaja’ah (keberanian) menjadi salah satu ciri yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah, selain ciri-ciri berupa al-ithmi’nan (ketenangan) dan at-tafaul (optimisme). Dengan demikian orang yang istiqamahlah akan senantiasa berani, tenang dan optimis karena yakin berada di jalan yang benar dan yakin pula akan dekatnya pertolongan Allah. Namun memang tak mudah untuk menjadi orang yang istiqamah atau teguh pendirian memegang nilai-nilai kebenaran dan senantiasa berada di jalan Allah. Bahkan Rasulullah saw. mengatakan bahwa turunnya surat Hud membuat beliau beruban karena di dalamnya ada ayat (Huud: 112) yang memerintahkan untuk beristiqamah, “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Rasulullah saw. memahami benar makna istiqamah yang sesungguhnya sampai ketika Abu Sufyan bertanya hal terpenting apa dalam Islam yang membuatnya tak perlu bertanya lagi, beliau menjawab, “Berimanlah kepada Allah dan kemudian beristiqamahlah (terhadap yang kau imani tersebut).” (Bukhari). Di kesempatan lain, Rasulullah saw. juga mengatakan tantangan buat orang yang istiqamah memegang Islam di akhir zaman, begitu berat laksana menggenggam bara api.
Keberanian untuk tetap istiqamah walau nyawa taruhannya nampak pada diri orang-orang beriman di dalam surat Al-Buruuj: 4-8 yang dimasukkan ke dalam parit dan dibakar oleh as-habul ukhdud hanya karena mereka menyatakan keimanannya kepada Allah swt. Begitu pula Asiah, istri Firaun dan Masyitah, pelayan Firaun, kedua-duanya harus menebus keimanan mereka kepada Allah dengan nyawa mereka. Asiah di tiang penyiksaannya dan Masyitah di kuali panas mendidih beserta seluruh keluarganya karena mereka berdua tak sudi mentuhankan Firaun. Demikian sulitnya untuk mempertahankan keistiqamahan di jalan Allah, dan demikian sulit pula untuk mewujudkan asy syaja’ah sebagai salah satu aspeknya.
Muthallibatu Ad Da’wah (Tuntutan Dakwah)
Dalam mengusung amanah dakwah, slogan ‘Jangan pernah takut, Maju pantang mundur, Berani karena benar, rela mati demi kebenaran’ tidak boleh luntur melainkan harus tetap terpatri dalam sanubari kader dakwah. Melekatnya doktrin itu, membuat kader dakwah tidak akan lari ke belakang demi kemenangan dakwah ini. Karena asy syaja’ah (keberanian) mengemban amanah umat merupakan tuntutan dakwah.
Manakala Allah swt. berbicara tentang penyelamatan dakwah, maka aspek asy syaja’ah ini yang selalu disebut-sebut oleh-Nya. Sebagaimana dalam At-Taubah: 40, ‘Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’
Di samping itu sikap syaja’ah para kader menjadi sebab dakwah berkesimbungan di muka bumi ini. Dengannya dakwah ini berjalan terus sekalipun harus melewati bukit terjal ataupun tembok besar. Berisiko berat ataupun ringan. Dengan keberanian para pejuang dakwah, ajaran Islam ini merambah ke berbagai pelosok dunia bahkan sampai pada diri kita saat ini. Padahal bila dilihat tantangan dan rintangan yang dihadapi sangat berat. Tantangan alam, geografis, budaya, maupun rintangan dari musuh-musuh dakwah. Tanpa keberanian mereka, perjalanan dakwah ini akan tertatih-tatih lantaran ketakutan yang melemahkan gerak dakwah ini.
Da’aimu Asy Syaja’ah (Pilar Keberanian)
Karena sikap asy-syaja’ah merupakan tuntutan dakwah maka para kader mesti selalu memompa dan menopang keberaniannya agar kata takut dan pengecut tidak lagi melekat dalam dirinya. Takut dan pengecut tidak boleh ada dalam memperjuangkan dakwah. Adapun pilar-pilar yang menghantarkan diri seorang kader memiliki sifat asy-syaja’ah adalah hal-hal berikut ini:
1. Al Iman bil Ghaib (Iman Dengan Yang Ghaib)
Penopang yang amat kokoh untuk menguatkan sikap asy-syaja’ah dalam diri kader dakwah adalah memperkuat keyakinannya akan hal-hal yang ghaib. Seperti yakin akan pertolongan Allah swt. Yakin akan malaikat-malaikat-Nya yang senantiasa membantu orang yang memperjuangkan agama Allah swt. Begitu pula yakin akan kehidupan akhirat yang ditentukan oleh amaliyah kita di dunia ini, khususnya amal-amal dakwah.
Keyakinan pada hal yang ghaib memunculkan sikap berani, tak takut terhadap apa yang terjadi. Karena semua yang bakal terjadi telah menjadi ketentuan dalam kehidupan seseorang. Ia merupakan takdir yang telah ditetapkan. Sebagaimana pengalaman nyata yang menarik dari seorang kader dakwah yang diancam atas perjuangannya selama ini. Tatkala di atas kepalanya ditodongkan pistol. Lalu sang algojo mengatakan, ‘Mana Tuhanmu, Apakah ia bisa menyelamatkan kamu kalau pelatuk pistol ini kugerakkan. Dan hancurlah batok kepalamu berkeping-keping. Jawab sang aktivis, Bila Tuhanku tidak mengizinkan pistol itu meledak maka aku tidak akan mati. Atau kalaupun pistol itu meledak namun Tuhanku tidak menetapkan aku mati maka aku pun tidak akan mati’. Jawaban ini sebagai jawaban atas keyakinan pada Yang Ghaib, yakni Allah swt.
Keyakinan semacam ini adalah buah dari tarbiyah yag telah menanamkan rasa takut hanya pada Allah swt. dan senantiasa bergantung pada-Nya. Sehingga kader memiliki cantolan yang teramat kuat. Lantaran pegangan dirinya kepada yang Maha Kuat ia tidak pernah mundur menghadapi cobaan dan rintangan dakwah. Demikianlah hasil dari proses tarbiyah yang panjang, membina aktivis untuk senantiasa yakin dengan sebenar-benarnya pada kekuatan yang Ghaib.
Rasulullah saw. telah mengingatkan Abu Bakar r.a. akan keyakinan pada Rabbul Izzati. Di saat orang-orang kafir sudah berada di Gua Tsur ingin membunuhnya. Abu Bakar hingga mencemaskan, “Ya Rasulullah, sekiranya salah satu dari mereka melihat betisnya maka mereka pasti akan melihat kita.” Nabi saw. menenangkannya dengan menyatakan, “Duhai Abu Bakar, apakah kamu mengira kita di sini cuma berdua. Tidak, Abu Bakar. Kita di sini bertiga. Janganlah takut dan gentar, Allah bersama kita.”
Karenanya jiwa para kader tidak boleh luput untuk selalu berinteraksi pada Allah swt. agar dikuatkan diri dan jiwa dalam memperjuangkan dakwah. Karena kemenangan para pejuang dakwah bukan ditentukan oleh kekuatan material melainkan kekuatan dari Yang Maha Perkasa.
2. Al Mujahadah Ala Al Khauf (Menaklukkan Rasa Takut)
Rasa takut sebagai lawan dari asy syaja’ah memang amat manusiawi. Kenyataan ini merupakan watak alamiyah yang dimiliki setiap insan. Seperti takut terbakar, tenggelam, terjatuh di mangsa binatang buas dan lain sebagainya. Namun rasa takut semacam itu harus berada di bawah khauf syar’i yakni takut kepada Allah swt. Sehingga setiap kader dakwah sepatutnya menaklukkan rasa takut thabi’inya dengan mengkedepankan rasa takut kepada Rabbbul Izzati. Dengan begitu mereka akan ringan dalam memperjuangkan dakwah, tidak maju mundur lantaran ketakutan-ketakutan yang ada pada dirinya.
Hal tersebut secara indah dan heroik terlihat gamblang pada kisah Nabi Musa a.s., Ibrahim a.s., dan Muhammad saw. Rasa takut pada kemungkinan tenggelam ke laut merah teratasi oleh ketenangan, optimisme, dan keberanian Nabi Musa a.s. yang senantiasa yakin Allah bersamanya dan akan menunjukinya jalan. Dan benar saja Allah memberinya jalan keluar berupa mukjizat berupa terbelahnya laut merah dengan pukulan tongkatnya sehingga bisa dilalui oleh Nabi Musa dan pengikutnya. Kemudian laut itu menyatu kembali dan menenggelamkan Firaun beserta tentaranya.
Kisah yang tak kalah mencengangkannya terlihat pada peristiwa pembakaran Nabi Ibrahim a.s. Rasa takut thabi’i terhadap api dan terbakar olehnya teratasi oleh rasa takut syar’i yakni takut kepada Allah saja. Dan subhanallah, pertolongan Allah datang dengan perintah-Nya kepada api agar menjadi dingin dan sejuk serta menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s.
Selayaknya setiap kader dakwah selalu menundukkan rasa takut insaniyahnya dengan mendominasikan rasa takut syar’inya. Sehingga yang selalu tertanam dalam dirinya hanya takut pada Allah semata. Dan tidak pernah gentar akan kekuatan-kekuatan selain Allah swt.
3. Taurits Al Khairiyah (Mewariskan Hal Yang Terbaik)
Penopang lainnya adalah dengan mempertimbangkan keadaan generasi berikutnya harus lebih baik dari sebelumnya. Maka warisan yang ditinggalkan untuk mereka adalah warisan-warisan kemuliaan. Sehingga mereka mengikuti jejak para pendahulunya yang mempunyai akhlaq mulia. Bila menginginkan generasi sesudahnya menjadi pemberani, maka wariskan sifat berani pada mereka. Namun bila mewariskan sifat takut dan pengecut maka jangan harap generasi berikutnya menjadi orang-orang yang heroik dan patriotik.
Abul ‘Ala Al Maududi menegaskan bahwa untuk mewariskan keturunan dan generasi yang lebih baik maka jangan lakukan sifat-sifat rendahan. Karena itu akan menjadi contoh bagi mereka. Ingatlah kebaikan akan mewariskan kebaikan dan keburukan akan mewarisi keburukan pula. Oleh karena itu Allah swt. telah mengingatkan agar memperhatikan nasib generasi berikutnya dengan mewariskan nilai-nilai kebaikan untuk menjadi dhawabith khairiyah bagi mereka.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An Nisa’: 9)
Adalah hal yang patut dipikirkan para kader dakwah untuk selalu menanamkan tekad dan kemauan agar melahirkan generasi yang terbaik dengan selalu berpegang pada sikap-sikap keteladanan yang di antaranya sikap asy syaja’ah.
4. As Shabru Ala Ath Tha’ah (Bersabar Terhadap Ketaatan)
Keberanian akan terus ada pada diri kader bila mereka bersabar. Sabar terhadap peristiwa yang mereka alami. Karena kesabaran itu merupakan senjata yang ampuh yang memberikan ketahanan menghadapi tekanan berat sekalipun. Dengan kesabaran kita pun dapat membandingkan kejadian yang dirasakan generasi yang lalu dengan yang sedang kita rasakan. Mereka tentu telah mengalami cobaan yang lebih berat ketimbang yang kita alami saat ini. Dengan kesabaran ini kita dapat bertahan dan terus maju melangkah di atas jalan dakwah dengan gagah berani.
Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saat menasihati Khabbab bin Al Arts yang berkeluh kesah atas beratnya penderitaan yang dialaminya, beliau mengingatkan Khabbab akan perjuangan para Nabi dan orang-orang shaleh terdahulu yang jauh lebih berat tapi mereka tetap berani dan tabah. Jadi kita bisa memupuk keberanian dan kesabaran dengan berkata, “Ah… cobaan ini belum seberapa dibanding yang pernah dialami orang-orang shaleh terdahulu.
Oleh sebab itu bekal kesabaran tidak boleh dalam keadaan defisit. Kesabaran mesti dalam kondisi yang selalu cukup dan bertambah. Karena kesabaran yang kuat menjadi tameng dalam menyelamatkan diri atas cobaan-cobaan berat dakwah ini. Allah swt. pun mengingatkan agar senantiasa bersabar dan menguatkan kesabaran.
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung”. (Ali Imran: 200)
5. Al Ajru min Allah (Berharap Balasan Dari Allah)
Seorang kader juga bisa mengusung dakwah ini dengan berani karena berharap balasan yang besar dari Allah swt. Balasan yang dijanjikan ini meminimalkan perasaan takut akan ancaman dalam memperjuangkan dakwah. Rasa takut akan segera sirna bila balasan yang dijanjikan jauh lebih besar dari apa yang diderita saat itu. Bahkan balasan yang pasti diberikan itu dapat memompa semangat juang kader untuk terus berada di jalan dakwah dan memperjuangkannya sampai titik darah penghabisan. Maka balasan Allah swt. itu seyogianya tervisualisasi dengan baik pada diri kader dakwah. Seakan-akan semua balasan itu ada di pelupuk mata.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Fushshilat: 30-32)
Bila balasan yang dijanjikan Allah swt. senantiasa terngiang-ngiang dalam benak kader, maka tidak ada alasan untuk takut dan pengecut. Rasulullah saw. mengingatkan Abdullah bin Harits yang mengungkapkan keinginannya untuk masuk Islam. Namun ia perlu mengajukan dua syarat yang memang terjadi pada dirinya. Pertama, tidak dibebankan infak karena dia orang yang termiskin di keluarga dan kabilahnya dan tidak pula diwajibkan berperang karena dia seorang yang penakut. Nabi menjawab, “Wahai Abdullah, bila itu kamu syaratkan lalu dengan apa kamu akan masuk syurga?” Maka Abdullah menandaskan, “Kalau begitu, ya Rasulullah, aku akan berinfak dan akan berjuangan di jalan Allah swt.” Begitulah akhirnya Abdullah bin Harits berada di barisan terdepan di jalan dakwah tanpa rasa takut dan lemah.
Syaja’ah atau pemberani tentu saja berbeda dengan bersikap nekat, “ngawur” atau tanpa perhitungan dan pertimbangan. Asy syaja’ah adalah keberanian yang didasari pertimbangan matang dan penuh perhitungan karena ingin meraih ridha Allah. Dan untuk meraih ridha Allah, tentu saja diperlukan ketekunan kecermatan dan kerapian kerja (itqan). Bukan keberanian yang tanpa perhitungan yang melahirkan kenekatan, namun juga bukan terlalu perhitungan dan pertimbangan yang melahirkan ketakutan.
Perwujudan sikap asy syaja’ah dalam kehidupan ini amatlah banyak terlebih dalam memperjuangkan dakwah. Implementasinya bisa bermacam-macam. Di antaranya:
a. Quwwatul Ihtimal (Memiliki Daya Tahan Yang Besar)
Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat berani jika ia memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
Begitu banyak orang yang tidak memiliki daya tahan tinggi terhadap segala tantangan dan kesulitan sehingga mudah surut, menyerah atau berputus-asa. Padahal dalam kehidupan yang semakin berat dan sulit dewasa ini begitu banyak tantangan dan marabahaya yang harus disikapi dan dihadapi dengan berani, karena bersikap pengecut dan melarikan diri dari persoalan hidup yang berat tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Apalagi dalam perjuangan dakwah untuk mencapai kemenangannya.
Daya tahan yang besar terhadap tekanan memberikan kemampuan menanggung beban-beban berat sendirian tanpa menyertakan yang lainnya. Malah ia ingin saudara-saudaranya tidak boleh mengalami kesulitan lantaran dirinya. Bila perlu ia yang menanggung penderitaan saudaranya yang lain. Begitulah kekuatan daya tahan kader dakwah yang patriotik.
Khubaib bin ‘Ady pernah ditawari Abu Sufyan ketika akan dieksekusi mati. “Wahai Hubaib, bagaimana kalau dirimu digantikan oleh Muhammad yang akan menduduki kursi pesakitan itu.” Khubaib menjawab, “Demi Allah yang diriku dalam genggaman-Nya. Aku tidak akan rela bila Muhammad menggantikan diriku begini. Kalau sekiranya aku tahu bahwa Muhammad sekarang ini tertusuk duri, maka aku tidak bisa tenang dan aku beserta keluargaku akan menggantikannya menderita karena tertusuk duri.” Inilah daya tahan yang kuat, berani menanggung beban risiko sendirian dan tidak ingin melibatkan kesulitan dirinya pada saudaranya.
b. As Sharahah fi Al Haq (Berterus Terang pada Kebenaran)
Keterusterangan dalam kebenaran sebagai indikasi keberanian. Sekalipun hal itu akan mengundang ekses padanya. Terkadang ada yang tidak bisa menerimanya. Ada juga yang memusuhinya. Ada pula yang mengancamnya. Bahkan ada pula yang tidak siap mendengarnya lalu membunuhnya.
Mengatakan yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang pahit bila dilihat dari sisi dampak yang bakal muncul. Namun bila dilihat dari sisi manfaat dan izzah keimanan ia menjadi sebuah keharusan. Sebagaimana sabda Nabi saw. ‘Qulil haq walau kaana muuran’ (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan keberanian menanggung segala risiko bila kita senantiasa berterus terang dalam kebenaran.
Tidak sedikit orang tergelincir dalam bersikap lalu ia berdusta atau diam karena khawatir akan risiko-risikonya. Sikap ini dipilih untuk mencari jalan selamat. Atau memang ia seorang pengecut dan penakut. Padahal sangat mungkin penguasa itu mendapatkan hidayah bila seseorang menyampaikan kebenaran tanpa rasa takut kepadanya. Ada seorang penguasa zhalim menginsafi dirinya. Sang penguasa menangis atas nasihat yang diucapkan seorang ulama yang berani memaparkan kebenaran padanya.
Sikap berani menyampaikan kebenaran yang mengandung risiko berat menjadi harga diri seorang kader dalam memperjuangkan dakwah. Para musuh tidak akan menganggap miring pada orang-orang yang mempunyai sikap ini. Malah mungkin sangat dipandang. Paling tidak sang penguasa akan gentar menghadapinya.
c. Kitmanu As Sirri (Kemampuan Menjaga Rahasia)
Kemampuan menyimpan rahasia merupakan bentuk keberanian yang bertanggung jawab. Orang yang berani adalah orang yang bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan terutama dalam persiapan jihad menghadapi musuh-musuh Islam termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia dengan serapat-rapatnya. Sebab kerahasiaan adalah tanggungan yang harus disimpan dengan baik meski berisiko tinggi. Ia bukanlah sesuatu yang diumbar-umbar kepada orang yang tidak berhak. Apalagi terhadap kerahasiaan dakwah. Karena terbongkarnya sebuah kerahasiaan akan berakibat fatal. Sangat banyak operasional dakwah berantakan karena tersiarnya rahasia dakwah.
Menyimpan rahasia bukanlah hal yang gampang. Ia merupakan pekerjaan berat yang tidak sembarang orang mampu melakukannya. Hanya orang-orang yang berani dan terampil menyimpan rahasia sajalah yang dapat melakukannya. Karenanya sahabat Rasulullah saw. yang memiliki kemampuan ini tidaklah banyak. Mereka adalah sahabat pilihan Nabi saw. untuk bisa menjaganya. Ada pepatah yang menyatakan bahwa selamatnya manusia tergantung dalam menjaga lidahnya. Tentu juga termasuk di dalamnya adalah menjaga kerahasiaan. Ini sangat ditentukan oleh keberanian menanggung beban akibat dari rahasia yang dipikulnya.
Huzaifah ibnul Yaman r.a. seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan sebutan shahibus sirri. Dia dapat menyimpan rahasia dengan baik. Hingga tidak diketahui yang lain akan tugas dan tanggung jawabnya menjaga rahasia. Dia berani menghadapi konsekuensinya sekalipun terasa amat berat. Akan tetapi yang membuat gentar dirinya adalah bila tertangkap musuh. Sebagaimana yang pernah ia ungkapkan pada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, saya tidak takut bila harus mati, akantetapi yang aku takutkan adalah bila aku tertangkap.”
d. Al ‘Itirafu bil Khatha’i (Mengakui Kesalahan)
Salah satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah tidak mau mengakui kesalahan, mencari kambing hitam dan bersikap “lempar batu, sembunyi tangan”. Sebaliknya orang yang memiliki sifat syaja’ah adalah berani mengakui kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan, dan bertanggung jawab.
Memang mengakui kesalahan tidaklah mudah. Kadang ada rasa malu, perasaan takut dikucilkan, perasaan cemas akan pandangan sinis orang lain karena kesalahannya. Padahal mengakui kesalahan diri sendiri sangat menguntungkan. Sebab ia lantas bisa melihat kesalahan dirinya. Ia pun tidak menyalahkan orang lain. Ia juga akan cepat memperbaiki dirinya. Dan berani mengakui kesalahannya akan membuka pintu keinsafan selebar-lebarnya.
Allah swt. memberikan contoh pelajaran dari sikap Nabi Adam a.s. ketika melakukan kesalahan, ia tidak limpahkan kesalahan itu pada setan yang menggodanya. Akan tetapi ia lebih memberatkan dirinya sehingga terbukalah pintu ampunan untuknya. “Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (Al ‘Araf: 23)
e. Al Inshafu min Ad Dzati (Bersikap Obyektif Pada Diri Sendiri)
Ada orang yang cenderung bersikap over estimasi terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap under estimasi terhadap dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani akan bersikap obyektif, dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk.
Obyektif dalam memandang diri sendiri akan membuka kesempatan pada orang lain untuk ikut berperan serta. Malah ia akan sangat berhajat pada keberadaan orang lain. Karena ia tahu benar bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa partisipasi yang lainnya. Di samping itu ia pun tidak akan meremehkan kemampuan dirinya. Sehingga ia bisa berbuat lebih banyak secara optimal dari potensi miliknya.
Umar bin Abdul Aziz saat diangkat menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan khalayak rakyatnya. “Aku bukanlah orang yang paling baik dari kalian. Aku hanyalah manusia seperti kalian akan tetapi aku mendapatkan amanah yang amat besar melebihi kalian. Karena itu bantulah diriku dalam menunaikan amanah ini.” Begitulah layaknya orang yang berani memandang kemampuan dirinya secara obyektif.
f. Milku An Nafsi ‘inda Al Ghadhabi (Menahan Nafsu di saat Marah)
Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah li nafsi, melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk melampiaskan amarahnya. Orang yang bisa lakukan itu dipandang sebagai orang kuat karena kemampuannya menahan amarah.
Amarah dapat menggelincirkan manusia pada sikap serampangan. Ia akan kehilangan kontrol diri. Bisa jadi ia lupa diri akan sikapnya yang keliru. Malah ia tak akan pernah menemukan solusi jitu akan masalahnya. Oleh karena itu Islam memerintahkan untuk bisa mengendalikan diri dari amarah. Sampai-sampai Rasulullah saw. mengajarkan untuk tidak amarah berulang-ulang. Bila masih muncul perasaan itu maka rubahlah posisi dirinya. Bila juga masih berkobar-kobar maka pergilah dan ambillah wudhu. Karena rasa marah dari setan. Setan diciptakan dari api. Dan api bisa mati disiram dengan air.
Keberanian adalah kelaziman dalam dakwah dan menjadi sikap yang melekat dalam diri sang kader. Ia adalah identitas pengemban amanah umat untuk bisa menunaikan tugas berat yang diusungnya. Ingat-ingatlah senandung para senior dakwah yang menggumankan, “Di dalan hatiku selalu terdengar suara Nabi yang memerintahkan, ‘Berjihadlah, berjuanglah dan lelahkanlah dirimu.’ Dan berseru, ‘Menanglah, kalahkanlah musuh dan berlatihlah jadilah kamu selamanya orang merdeka yang pantang menyerah. Hai pemberani lakukanlah karena kita punya hari esok dan harapan’.”
Wallahu a’lam bishshawwab.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/05/673/berani-di-jalan-dakwah/#ixzz26ihYLbi6