Senin, 17 September 2012
Mengasah jiwa kepemimpinan Ala Rasulullah SAW
Mengasah jiwa kepemimpinan Ala Rasulullah SAW Sobat, kalau kita ingin menjadi pemimpin sejati,pengusaha sukses, entrepreneurship yang handal, sekaligus sukses dunia akherat, contohlah pribadi yang ada dalam diri Nabi Muhammad SAW. (N.Faqih Syarif H) Sobat pada pertemuan ke-tiga Thank God It’s Ramadhan SMART 88.9 FM di Mercure Grand Mirama Surabaya kemarin sebagai bintang tamunya adalah Gus Ipul wakil gubernur Jawa Timur, kita kembali membahas dan menggali kepemimpinan dan spiritualitas para CEO,pimpinan perusahaan dan Instansi. Ada inspirasi yang menarik yang disampaikan oleh Gus Ipul tentang bagaimana dia memimpin selama ini baik sebagai ketua GP Anshar dulu, Menteri Negara Percepatan Daerah Tertinggal atau sekarang sebagai salah satu ketua PBNU dan wakil gubernur jawa timur. “ Segalanya adalah amanah yang harus dilakukan dengan totalitas dan penuh semangat serta berusaha menjadikan diri bermanfaat bagi sesama sebagai bekal menghadap keharibaan Allah SWT.” Jawab Gus Ipul dengan gayanya yang santai dan bersahaja. Gus ipul juga mengingatkan bahwa menjadi seorang pemimpin bukanlah sesederhana pegang komando, lantas asal beri perintah. Ganti sana, ganti sini. Perintah inilah, perintah itulah. Rasulullah SAW dalam sebuah hadits mengingatkan kepada kita semua, “ Kamu semua adalah seorang pemimpin dan masing-masing kamu kelak akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT atas apa yang kamu pimpin.” Sobat, seorang pemimpin haruslah cerdas (fathonah), karena seluruh pernyataannya berimplikasi pada kehidupan orang banyak. Sekali saja ia salah melangkah, cost-nya akan sangat besar dan dampaknya bisa berimplikasi kepada yang dipimpinnya. Maka selain cerdas, seorang pemimpin harus mampu memahami situasi dan kondisi yang dipimpinnya. Seorang pemimpin harus berada di tengah-tengah masyarakat. Bukan hanya kongkow-kongkow di gedung mewah ber AC. Seorang pemimpin juga harus memiliki kepekaan sosial yang tinggi dan ini tentunya perlu dilatih jauh hari. Sobat, Rasulullah SAW pemimpin yang paling agung,juga ternyata telah melatih sens of lesdership-nya sejak ia masih kecil. Sewaktu kecil, beliau telah menjadi penggembala kambing/domba yang setiap harinya mengatur ratusan kambing. Ia tahu betul mana kambing yang sedang sakit, mana kambing yang nakal dan mana kambing yang sedang birahi. Muhahammad juga tahu bagaimana seharusnya ia bersikap dengan kambing-kambingnya itu. Kapan ia harus menggiring ke padang rerumputan dan kapan ia harus membawanya pulang. Sebagai seorang penggembala, Muhammad kecil dilatih bersikap sabar, teliti, untuk mencurahkan perhatiannya secara ekstra untuk mengawasi kambing-kambingnya itu. Karena sekali ia lengah, maka sekawanan serigala siap memangsa hewan ternaknya itu. Sobat, dengan menjadi seorang penggembala karakter kepemimpinannya menjadi terasah dan terlatih. Kepekaan terhadap umatnya, siapapun tak bisa meragukannya. Beliau juga menjalani sebagai manusia biasa. Apa yang dimilikinya tidak serta merta turun dari langit, tapi lebih dari itu, melalui proses pembelajaran yang panjang. Beliau pernah bersabda, “ Nabi-nabi yang diutus Allah itu adalah penggembala kambing. Musa diutus,ia penggembala kambing. Daud diutus, ia penggembala kambing. Aku diutus juga adalah penggembala kambing keluargaku di Ajyad,” Sobat, menjadi pemimpin sejati dibutuhkan keuletan dan kerja keras. Thomas Alva Edison mengukapkan kata-kata yang luar biasa, gagasan(inspirasi) hanya menyumbang 1 % sedangkan yang 99 % adalah kerja keras untuk mewujudakannya (Perspirasi). Kata-kata ini patut juga kita renungkan bersama. Untuk menjadi pemimpin, keuletan dan bekerja keras menjadi salah satu factor penentu yang menyumbang kesuksesan. Jangan berharap, ketika kita bermalas-malasan, akan bisa menjadi pemimpin yang sukses. Hal di atas sangat layak kita terapkan dalam membangun jiwa-jiwa entrepreneurship. Selain tertanamnya jiwa kewirausahaan dari diri, yang terpenting juga adalah aspek eksternal untuk menjadi entrepreneurship. Semuanya menjadi factor pendukung yang komprehensip untuk dapat mengembangkan mental wirausahawan. Selain harus kreatif, inovatif,pekerja keras,tegar, dan ulet. Ada lagi beberapa hal yang bisa menjadi stimulan untuk mengasah mental entrepreneurship. 1. Pekerja keras. Rasulullah SAW ketika tidur, matanya terpejam, dan berada di tempat tidur, hatinya senantiasa terbuka, merasa dan berkontemplasi. Pikirannya selalu bekerja, berpikir, mengevaluasi dan merancang masa depan umatnya. Di dalam “kamus dir” beliau senantiasa menjadikan malam dan siang, sebagai waktu yang tak ada batasnya dalam memikirkan umatnya. Inilah teladan yang harus diambil bagi siapa saja yang menginginkan menjadi pemimpin atau entrepreneur sejati. 2. Pola pikir multi tasking dalam arti positif. Seorang pemimpin atau wirausahawan sejati mampu melihat sesuatu dalam perspektif atau dimensi yang berlainan pada satu waktu.Bahkan ia juga mampu melakukan beberapa hal sekaligus.Kemampuan inilah yang membuatnya piawai dalam menangani persoalan yang dihadapi oleh intitusi atau perusahaan yang mereka pimpin. 3. Mampu menahan nafsu untuk cepat menjadi kaya. Wirausahawan yang bijak biasanya hemat dan sangat berhati-hati dalam menggunakan uangnya. Dia mengerti juga bahwa membangun sebuah perusahaan yang kokoh dan mapan memerlukan waktu bertahun-tahun. Dia mampu menahan nafsu konsumtifnya.Baginya pengeluaran yang tidak menghasilkan akan dianggap sebagai sebuah kemewahan. 4. Berani mengambil resiko. Semakin resiko yang diambilnya, semakin besar pula kesempatan untuk meraih keuntungan karena jumlah pemain semakin sedikit. Tentunya, resiko-resiko ini sudah harus diperhitungkan terlebih dahulu. 5. Dan masih banyak lagi faktor yang belum terungkap pada tulisan ini bisa Anda lengkapi bacaan Anda dengan membaca artikel-artikel saya sebelumnya di www.faqihsyarif.com Sebagai penutup sobat, , kalau kita ingin menjadi pemimpin sejati,pengusaha sukses, entrepreneurship yang handal, sekaligus sukses dunia akherat, contohlah pribadi yang ada dalam diri Nabi Muhammad SAW. Berani mencoba! Sukses dunia dan akherat bakalan Anda raih. Salam Dahsyat dan luar biasa! ( Spiritual Motivator N.Faqih Syarif H, S.Sos.I,M.Si, Penulis buku Al quwwah ar ruhiyah kekuatan spirit tanpa batas dan buku Menjadi Dai yang Dicinta email mumtaz.oke@gmail.com )
Nikmat Allah itu begitu Banyak nan Indah.
Nikmat Allah itu begitu Banyak nan Indah.
6:13 AM
Nikmat
Seorang bapak paruh baya suatu saat bertutur, “Ya Allah, aku memohon
izin kepada Engkau, hendak menggunakan akal-pikiran dan tubuhku hari ini
untuk bekerja mencari nafkah yang halal demi memenuhi kebutuhan
keluargaku.”
Mungkin kedengarannya aneh. Namun, demikianlah kata-kata itu hampir
setiap pagi ia lafalkan sebelum berangkat ke tempatnya bekerja.
Ketika ia ditanya, sebegitu pentingkah memohon izin kepada Allah SWT
untuk sekadar berangkat kerja? Ia menjawab, “Nak, kita sering mengklaim,
harta kita milik Allah; istri dan anak-anak kita milik Allah; tubuh dan
jiwa kita pun milik Allah; semua milik Allah. Jadi, apa salahnya kita
memohon izin dan ridha Allah saat kita memanfaatkan semua itu? Toh,
semuanya memang milik-Nya yang kebetulan Dia titipkan kepada kita,”
jawabnya serius, tanpa sedikitpun menyiratkan kepura-puraan.
“Ya, tapi bukankah Allah SWT memang telah menganugerahkan semua yang ada
di dunia ini untuk kita, manusia?” kembali ia ditanya.
“Betul, tidak salah. Tapi, itu bukan berarti tanpa syarat. Seperti
seseorang yang meminjamkan kendaraannya kepada kita untuk berbelanja,
misalnya, tentu tak pantas kendaraan itu kita pakai untuk merampok.
Engkau mengerti, kan?” katanya balik bertanya.
“Demikian pula dengan kita. Allah SWT menganugerahkan akal-pikiran dan
tubuh kita untuk beribadah kepada Diri-Nya. Allah SWT menyediakan segala
karunia-Nya di dunia ini, juga untuk bekal manusia mengabdi kepada
Diri-Nya. Masalahnya, apakah semua yang Allah ‘pinjamkan’ kepada kita
itu benar-benar telah dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya itu?
Ataukah semua yang hakikatnya milik Allah itu malah kita gunakan untuk
bermaksiat dan melanggar perintah-Nya? Sudahkah mata yang Allah titipkan
kepada kita, misalnya, benar-benar hanya digunakan untuk melihat yang
halal; atau seringnya malah digunakan untuk melihat hal-hal yang haram?
Sudahkah lisan kita digunakan hanya untuk mengeluarkan kata-kata yang
bermanfaat serta mengandung hikmah dan nilai dakwah; atau seringnya
malah untuk mengucapkan kata-kata yang sia-sia tak berguna?”
*****
Di lain waktu, seorang kiai sepuh yang amat wara’ dan zuhud di suatu
daerah terpencil pernah ditanya oleh seorang anak muda, mengapa ia tidak
pernah berniat menambah koleksi pakaiannya yang hanya beberapa potong
saja di rumahnya, tak lebih dari 3-5 potong pakaian saja? Sang kiai
sepuh menjawab, “Nak, yang lima potong saja sebagiannya masih sering
tergantung begitu saja, jarang dipakai. Saya sering khawatir seandainya
nanti hal itu ditanyakan oleh Allah SWT di akhirat nanti. Saya khawatir
ditanya, ‘Kamu telah Aku beri nikmat, mengapa tak kamu syukuri; mengapa
kamu sia-siakan?’”
Terkait kisah di atas, Allah SWT berfirman: Kemudian pada hari itu
kalian benar-benar akan ditanya tentang nikmat itu (TQS at-Takatsur
[102]: 8).
Ayat ini tentu sering kita baca atau kita dengar. Namun, entah mengapa,
saat ayat itu dibacakan kembali oleh guru saya, Al-Mukarram KH Hafidz
Abdurrahman, dalam suatu kesempatan halaqah, saya tersentak dan
tersadar. Saat itu, beliau menceritakan, bahwa Baginda Rasulullah saw.
itu sering dilanda rasa lapar karena seringnya beliau tidak mendapati
makanan di rumahnya. Saat tak punya makanan di rumahnya, beliau pun
berpuasa. Beliau tidak sedih atau galau karena ‘musibah’ rasa lapar itu.
Lalu pada saat ada sahabat yang mengirim kurma kepada beliau, bukannya
bergembira. beliau malah kelihatan sedih dan galau, seraya mengingatkan
kembali ayat di atas.
Begitulah sikap Rasulullah saw. saat mendapatkan nikmat. Mengapa? Karena
terkait nikmat yang Allah berikan kepada manusia, sekecil apapun, akan
dimintai pertanggung-jawaban. Nikmat yang dimaksud tentu saja adalah
seluruh kelezatan dunia (Lihat: As-Suyuthi, Durr al-Mantsur, X/337).
Sebaliknya, Allah SWT tidak akan meminta pertanggungjawaban atas musibah
yang Dia timpakan kepada manusia. Karena itu, Baginda Rasulullah saw.
tidak bersedih karena suatu musibah yang menimpa.
Namun, kita memang jauh berbeda dengan Baginda Rasulullah saw. Kita
sering amat sedih saat kenikmatan lepas dari diri kita dan terlalu
bergembira saat kenikmatan itu menghampiri kita; lupa jika dengan
kenikmatan itu kita akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat nanti.
*****
Terkait dengan nikmat pula, kita tentu sering diingatkan dengan sebuah
sabda Baginda Rasulullah saw. sebagaimana dituturkan oleh Ibn Mas’ud
ra., “Kaki anak Adam tidak akan bergeser di hadapan Rabb-nya pada Hari
Kiamat nanti sebelum ditanya tentang lima perkara (yaitu): umurnya,
bagaimana ia lalui; masa mudanya, bagaimana ia habiskan; hartanya
darimana ia dapatkan dan bagaimana ia belanjakan; serta tentang apa yang
telah ia amalkan dari ilmu yang ia miliki.” (HR at-Tirmidzi).
Dalam hadis lain penuturan Ibn Abbas disebutkan bahwa Baginda Rasulullah
saw. pun pernah bersabda, “Ada dua nikmat yang sering dilupakan oleh
kebanyakan manusia yaitu: nikmat sehat dan waktu luang.” (HR
al-Bukhari).
Padahal, terkait nikmat kesehatan dan waktu luang, kita pun akan ditanya
dan dimintai pertanggungjawaban: sejauh mana kesehatan dan waktu luang
itu kita manfaatkan; apakah untuk kebaikan atau keburukan; apakah untuk
memperbanyak amal salih atau amal salah; apakah untuk memperbanyak amal
dakwah atau melulu untuk urusan ma’isyah; dst.
Bagaimana dengan nikmat harta? Terkait sedikitnya harta kita, ia tetap
akan dipertanyakan dan dimintai pertanggungjawaban: darimana dan untuk
apa? Apalagi jika harta kita berlimpah-ruah, tentu akan lebih banyak
lagi pertanyaan Allah SWT kepada kita pada Hari Akhir kelak. Itulah
mengapa, Baginda Rasulullah saw. pernah bersabda tentang Abdurrahman bin
Auf ra., seorang sahabat yang kaya-raya, “Nanti Abdurrahman bin Auf
(karena hartanya yang banyak, pen.) akan masuk surga dalam keadaan
merangkak.”
Mendengar sabda Baginda Rasulullah saw. demikian, seketika Abdurrahman
bin Auf ra. pun menyedekahkan seluruh hartanya (termasuk emas dan perak)
yang diangkut dengan 700 ekor unta (berikut seluruh untanya itu).
Padahal harta itu baru saja tiba di Madinah sebagai hasil berbulan-bulan
ia berbisnis di luar Kota Madinah. Ia melakukan itu tidak lain karena
sangat khawatir atas lamanya penghisaban Allah SWT atas dirinya di
akhirat kelak karena hartanya yang melimpah itu.
Wama tawfiqi illa bilLah wa ‘alayhi tawakaltu wa ilayhi unib. [Arief B.
Iskandar]
MEMBUKAPINTU RIZKI
Membuka Pintu rezeki!
4:46 AM
Membuka Pintu
rezeki!
Yakinlah bahwa
rezeki itu bersumber dari Allah!
Sobat, rezeki kita
tidak bergantung pada gaji yang kita terima.Rezeki kita tidak bergantung pada
karier dan prestasi kita.Rezeki kita tidak bergantung pada jabatan dan
kedudukan kita.Rezeki kita tidak bergantung hanya menjadi pegawai negeri! Tapi
rezeki kita bergantung hanya pada Allah saja. Titik dan ndak pakai koma.
Sobat,
di jaman yang serba materialistik dan sekuleristik ini banyak orang yang berkeyakinan bahwa
rezeki bersumber dari pekerjaan,usaha, kerja keras, kecerdasan, relasi dan
sebagainya. Itu salah besar teman sebabnya rezeki itu hanya satu yaitu Arrizku
biyadillah.Rizki itu semata-mata datangnya dari Allah.Pekerjaan, usaha, kerja
keras,kecerdasan, dan relasi hanyalah
alhaal – media/sarana untuk menjemput rezeki dan itulah ladang amal
sholeh apakah kita pergunakan sesuai dengan aturan Allah atau tidak disitulah
berlaku hisab Allah. Allah tidak bertanya banyak atau tidaknya rezeki yang kita
peroleh tapi Allah akan menghisab kita bagaimana cara mengusahakan dalam
menjemput rezeki itu dan bagaimana cara mendistribusikan rezeki yang
kita peroleh itu. Bukankah rezeki itu semuanya bersumber dari Allah SWT.
Jangankan
manusia yang sudah dikaruniahi dengan potensi akal, hati dan indera yang lima,
semut yang berada di dalam batu pun diberi rezeki oleh Sang Maha Pemberi
Rezeki.
Allah SWT berfirman :
“
Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya.
Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis)
dalam kitab yang nyata.” (TQS. Hud (11) ayat 6).
Sobat,
jika kita sudah yakin bahwa rezeki bersumber dari Allah SWT, maka : Kita tidak perlu takut sekiranya harus
diberhentikan dan kehilangan pekerjaan yang selama ini menopang kehidupan kita
dan keluarga. Kita tidak perlu takut muncul para pesaing yang menyaingi usaha
dan karier kita. Kita tidak perlu takut ditinggalkan relasi atau konsumen kita.
Kita tidak perlu takut diancam atau dimusuhi kawan atau atasan kita. Kita tidak
perlu takut menjadi miskin atau kaya. Intinya, tidak ada yang perlu kita
takutkan dan khawatirkan tentang rezeki kita! Yang terpenting adalah lakukan
yang terbaik sesuai aturan-Nya dalam mengusahakan menjemput rezeki bagi kita
dan mendistribusikannya secara halal dan sesuai syariatnya. Insya Allah akan
membawa keberkahan hidup.
Rezeki
kita tidak bergantung pada gaji yang kita terima.Rezeki kita tidak bergantung
pada karier dan prestasi kita.Rezeki kita tidak bergantung pada jabatan dan
kedudukan kita.Rezeki kita tidak bergantung hanya menjadi pegawai negeri! Tapi
rezeki kita bergantung hanya pada Allah saja. Titik dan ndak pakai koma.
Berikut
ini sobat, beberapa amalan yang Insya Allah bisa mempercepat dan meningkatkan
rezeki kita masing-masing :
- Yakinkan diri sampai benar-benar masuk dalam otak bawah sadar kita bahwa Rezeki itu . bersumber dari Allah SWT. Insya Allah ada banyak limpahan rezeki yang akan kita dapatkan dan pantang menyerah untuk berusaha menjemput rezeki dari-Nya.
- Melanggengkan sholat dhuha tentu sobat tidak meninggalkan sholat wajib. Dalam hadits Qudsi “Allah berfirman: Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas melakukan sholat empat rokaat pada pagi hari (sholat dhuha) karena aku akan mencukupi kebutuhanmu hingga sore hari.”( HR. Abu Daud ).
- Membiasakan bersedekah. Tentang keajaiban sedekah banyak diungkap dan dibicarakan panjang lebar dari berbagai kitab para salafushalih atau buku-buku di era saat ini. Ada banyak ayat-ayat Al Qur’an yang menyatakan Allah telah menjamin akan melipatgandakan dan mengganti sedekah yang dikeluarkan dengan balasan rezeki yang berkali lipat. Bisa kit abaca diantaranya QS Al-hadid ayat 18, QS Al-Baqarah ayat 261. Baginda Rasulullah Saw juga bersabda, “Setiap pagi turunlah dua malaikat dari langit yang saling menyeru dan berdo’a. Salah satu malaikat berdo’a, Ya Allah berikanlah ganjaran kepada orang yang bersedekah.’ Sedangkan malaikat yang lainnya berdo’a, ‘Ya Allah berikanlah kerugian kepada orang yang kikir,”
- Berbakti dan berbuat baik kepada orang tua. Sahabat Anas bin Malik mengatakan, baginda Nabi Muhammad Saw, bersabda,” Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya, hendaklah ia berbakti kepada orang tuanya dan menyambung tali silaturahmi.”
- Istiqomah dalam membaca Al qur’an, sholawat nabi serta melakukan amar ma’ruf nahi munkar.( Dakwah di jalan Allah). Bukankah Rasul pernah menyampaikan,” Sebaik-baik diantara kalian orang yang belajar Al qur’an dan mengamalkannya.(mendakwahkannya). Dalam riwayat lainnya : “ Sesungguhnya orang yang berilmu ( yang mendakwahkan ilmunya) akan dimintakan ampun baginya oleh makhluk yang di langit dan makhluk yang di bumi, hingga ikan-ikan dalam lautan. ( HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah ).
- Terus menjalin silaturahmi. Sayyidina Ali Ra pernah mengemukakan bahwa Rasulullah Saw,bersabda, “ Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dihindarkan dari mati dalam keadaan tidak baik, hendaklah ia gemar menyambung tali silaturahmi.” ( HR. Bukhari). Ternyata ilmu marketing modern benar-benar mengakui ajaran rasul ini inilah yang mereka sebut dengan istilah the power of networking.
- Memperbanyak Istighfar dan do’a adalah kunci pembuka keberkahan rezeki. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas, Rasulullah Saw bersabda, “ Barangsiapa yang senantiasa membaca istighfar, niscaya Allah akan melapangkan dari segala kesempitan, menghilangkan duka cita dan kesusahan, memberikan rezeki tanpa terduga-duga.”
Dikisahkan
ada seorang Bapak yang kehidupannya amat
sederhana sebagai PNS jujur yang berputra7 dan 3 orang anak yatim piatu yang
dia asuh. Aktif mendirikan masjid di kampungnya sebagai panitia,membina
anak-anak kampung untuk menjadi baik, Kepingin sekali Bapak tadi menunaikan
ibadah haji akan tetapi Tabungan pensiunan yang dia rencanakan ternyata tidak
cukup. Tapi beliau tetap sabar dan istiqomah berjuang di jalan Allah, beliau
sekalipun tidak pernah tinggal sholat tahajud dan dhuha sudah menjadi
kebiasaan. Subhaanallah! Allah Yang Maha Pemberi Rezeki memberikan kejaiban dan
rezeki yang tak disangka-sangka. Saat beliau silaturahmi ke sanak kerabat di
luar kota, beliau bercerita tentang keinginan untuk berangkat haji setelah
keluar tabungan pensiun PNS nya hanya tidak cukup utk berangkat, rupanya Allah
mengetuk hati salah satu saudaranya yang pengusaha yang tidak jadi berangkat
karena sesuatu hal tapi dia bernadzar akan memberangkatkan haji 1 orang tahun
itu. Akhirnya singkat cerita Bapak Tadi bisa berangkat haji lantaran berkah
silaturrahmi. Subhaanallah.
Di
akhir artikel ini saya sampaikan do’a yang saya terima dari almarhum ibu,
beliau ijazahkan kepada penulis yang tiap kali dibacakan saat sujud syukur setelah
sholat.
Allahumma
ikhfini bihalalika ‘an haramika wa aghnini bifadhlika ‘amman siwak.
“Ya
Allah, cukupkanlah aku dengan (rezeki-Mu) yang halal serta jauhkan dari yang
haram. Dan berilah aku kekayaan tanpa tandingan.” Amin Ya Rabbal’alamin.
Salam
Dahsyat dan Luar Biasa!
(
Spiritual Motivator – N.Faqih Syarif H,S.Sos.I,M.Si, Penulis buku Al Quwwah ar
ruhiyah kekuatan spirit tanpa batas. www.faqihsyarif.com
dan emai mumtaz.oke@gmail.com )
Menjadi Da’i yang Baik dan Powerfull
Menjadi Da’i yang Powerfull
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan palajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (An Nahl : 125)
Sobat, sebagaimana kita mengetahui bahwa Islam adalah agama dakwah. Kalimah laa ilaha illallah merupakan inti ajaran Islam, sekaligus pendorong utama kegiatan dakwah. Dengan dakwah, Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia. Dakwah adalah misi utama kenabian Muhammad saw. Dakwah adalah ujud kepedulian, bahkan kasih sayang kita kepada sesama manusia.Salah satu ciri seorang muslim adalah kepeduliannya terhadap aktivitas dakwah.Melalui dakwah, kita dihindarkan dari sikap individualis.
Sobat, ilustrasi tuntutan dakwah yang begitu indah tentang dakwah ini dipaparkan Rasulullah Saw dalam salah satu haditsnya :
Bagaikan suatu rombongan yang naik kapal. Ada yang duduk di bagian atas, ada lagi yang duduk di bagian bawah. Dan bila ada orang di bagian bawah akan mengambil air, ia harus melewati orang di atasnya. Sehingga orang yang di bagian bawah tadi berpikiran, ”Seandainya aku melubangi tempat duduk milikku sendiri untuk mendapatkan air, tentu aku tidak akan mengganggu orang yang di atas”. Bila mereka mencegahnya, ia akan selamat dan semua isi kapal akan selamat, sementara bila mereka membiarkan, maka orang itu akan celaka begitupun semua isi kapal
Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas dakwah adalah aktivitas yang penting dan menyelamatkan masyarakat secara umum. Apa saja tujuan dakwah dalam Islam?
• Mentauhidkan Allah
• Menjadikan Islam sebagai pedoman hidup manusia sedunia dalam wadah daulah
• Menjadikan Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam
• Menggapai Ridha Allah
Adapun pahala dan balasan orang yang melakukan dakwah di jalan Allah dengan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar adalah sebagaimana yang disebutkan Rasulullah dalam sabdanya :
Siapa saja yang menyeru manusia pada petunjuk (Islam), dia pasti akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala yang diperoleh orang yang mengikuti petunjuk itu tanpa mengurangi sedikitpun pahalanya
(HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, an Nasa’I dan Ibn Majah)
Fakta keadaan umat Islam saat ini adalah kebodohan, kemiskinan, dan kemaksiatan yang merajalela, dijajah dan dibawah pengaruh negara adidaya, terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara, ukhwah Islamiyyahnya rendah dan tidak bisa menjalankan Islam secara Kaffah.
Sobat, yang kita takutkan adalah ketika dakwah ditinggalkan dan bukan merupakan hal penting bagi umat islam saat ini maka akan terjadi :
• Ditengah manusia berkembang kemusyrikan dan kekafiran
• Manusia akan hidup dengan hukum jahiliah, sehingga tidak ada rahmat. Yang ada adalah laknat
• Dunia akan dikendalikan oleh adikuasa jahiliah
• Bila dakwah ditinggalkan, bagaimana ridha Allah bisa didapat?
• Tidak akan ada daulah Islam
Di sinilah sobat, pentingnya dakwah bagi kehidupan umat Islam diantaranya adalah ; Menentukan muslim tidaknya manusia, dan kualitas kepribadiannya, menentukan tegak tidaknya hukum Islam, menentukan corak kehidupan manusia, kehidupan keluarga, lingkungan dan kehidupan masyarakat bahkan menentukan corak kehidupan dunia.
Sobat, Islam akan kembali tegak bila Islam didakwahkan ke tengah-tengah masyarakat sebagai ideologi dengan tanpa kekerasan dan diterapkan sebagaimana dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW.
Sobat, karakter apa saja yang harus dimiliki oleh seorang Da’i sehingga menjadi Da’i yang powerfull dan mampu menginspirasi umat untuk kembali kepada aturan Allah dan Rasul-Nya ? Berikut ini ada beberapa karakter Da’i yang harus kita perhatikan dan wujudkan dalam diri sebagai pengemban dakwah :
1. PERCAYA PADA MABDA’ ISLAM
Bahwa Islam adalah din yang diridhai Allah SWT dan sesuai dengan fitrah manusia, bahwa mabda’ Islam adalah solusi dari segenap problematika manusia dan bila ditegakkan akan membawa rahmat bagi semua, bahwa mabda’ selain Islam batil adanya, bahwa mendakwahkan mabda Islam hingga tegak di seantero dunia adalah perbuatan mulia dan kewajiban utama
2. BERANI DAN TEGAS
Berani karena benar. Keberanian para pejuang kebatilan lebih berhak dimiliki oleh para da’i , cukuplah Allah sebagai pelindung dan penolong. Dialah sebaik-sebaik pelindung dan penolong, ditangkap, disiksa, kehilangan pekerjaan bahkan kematian adalah risiko perjuangan. Bukankah semua orang akan mati? Rizki telah ditetapkan Allah, anda berjuang atau tidak. Surga dan kemuliaan di sisi Allah tidak didapat secara cuma-cuma. Perlu usaha.
3. SERIUS DAN SUNGGUH-SUNGGUH
Dakwah adalah pekerjaan yang sangat serius. Karenanya diperlukan kesungguhan. Dakwah menentukan tegak tidaknya Islam. Dakwah menentukan mulia tidaknya umat Islam. Dan dakwah Islam menentukan selamat tidaknya hidup kita di dunia dan akhirat. Maka, dakwah harus dihadapi sebagai persoalan hidup atau mati.Tidak ada yang lebih penting dalam hidup muslim lebih dari dakwah. Hayatu al-muslim hayatu al-dakwah. Semua yang dimiliki (harta, kedudukan bahkan nyawa) sesungguhnya hanyalah wasilah untuk dakwah
4. SABAR DAN TEGUH JIWA
Dakwah akan berhadapan dengan sejuta rintangan. Seorang da’i harus sabar dan teguh jiwa untuk menghadapi semua. Orang yang ingin menghancurkan Islam saja melakukannya dengan penuh kesabaran. Kehancuran Islam sudah demikian lama, secara sunatullah memerlukan waktu yang lama pula untuk membangunnya kembali. Sabar bersumber dari kesadaran bahwa semua memerlukan proses, dan keberhasilan adalah semata buah dari proses itu. Keteguhan jiwa bersumber dari kekuatan ruhiyah dibina melalui ibadah mahdah (shalat malam, puasa sunnah, dzikr, membaca al-Qur’an dsb)
5. TAK HENTI TERUS BELAJAR
Tidak ada kata berhenti belajar buat para da’i untuk terus menambah pengetahuan akan pemikiran, ide, hukum dan tsaqafah Islam (bhs Arab, fiqh, sirah dsb).Dari belajarlah , pemahaman bertambah, kesalahan diperbaiki sehingga kemampuan dalam berdakwah semakin meningkat.Belajar melalui membaca, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Serta belajar dari pengalaman. Maka seorang da’i tidak boleh berhenti mencoba hal baru dan berdialog dengan orang lain. Sikap open minded sangat penting bagi seorang da’i
6. TAK HENTI MEMPERBAIKI DIRI
Da’i menjadi cermin pengetahuan dan pengamalan Islam bagi masyarakat. Maka, seorang da’i harus terus memperbaiki diri. Seorang da’i harus mengamalkan apa yang diserunya. Melakukan yang ma’ruf dan meninggalkan yang mungkar. Dengan perbaikan terus menerus, akhlaq, ibadah, muamalah, keluarga dan semua yang tampak dari seorang da’i makin sempurna. Kesalahan seorang da’i akan berdampak lebih buruk daripada kesalahan orang biasa
7. BISA BEKERJASAMA
Dakwah bagi tegaknya mabda Islam harus dilakukan secara berjamaah. Tidak bisa sendirian. Membangun rumah saja perlu banyak orang, apalagi membangun rumah umat….. Seorang da’i harus bisa bekerjasama, terutama dengan sesama anggota jamaah dakwah. Keseriusan, kesungguhan, kesabaran, sikap istiqamah dalam dakwah serta upaya perbaikan dan pembelajaran terus menerus lebih mudah dilakukan dalam jamaah
Sobat, Ingatlah bahwa NABI adalah TELADAN PARA DA’I. Dan Nabi adalah da’i mulia. Dalam dirinya terkandung semua karakter utama. Para da’i sekarang harus mengaca kepadanya. Dialah teladan utama. Keyakinan Nabi akan mabda’ Islam, keseriusan, kesungguhan, kesabaran, sikap istiqamah dalam berdakwah tiada tara. Keberhasilan dakwah Nabi tidak bisa dilepaskan dari pancaran sosok pribadi Nabi. Maka, keberhasilan dakwah sekarang juga tidak bisa dilepaskan dari sosok karakter dai.
Sobat, derajat da’i di sisi Allah begitu luar biasa. Imam Al Hasan Al Bashri menyebut para da’i yang mulia sebagai: Habibullah (kekasih Allah),Waliyullah (wali Allah), Shafwatullah (pilihan Allah), Khairatullah (pilihan Allah),Khalifatullah (wakil Allah).
Marilah kita menjadi pengemban dakwah atau da’i yang powerfull dengan memahami kewajiban dan pentingnya dakwah serta berusaha sekuat tenaga memiliki karakter-karakter di atas. Artikel ini salah satu tulisan yang ada di buku saya terbaru .Semoga dalam waktu dua bulan ini bisa selesai dan segera di launching bersamaan dengan kelahiran putera kedua saya. Nantikan Buku saya berikutnya dengan tema ” Be A Powerfull Da’i : Kiat menjadi Da’i yang hebat mentraining dan menulis.” Semoga bermanfaat dan menjadi kontribusi bagi perjuangan dan penyadaran umat untuk kembali kepada Islam dan kejayaan Islam. Amin.
Salam Dahsyat dan Luar Biasa! Allahu Akabar !
( Spiritual Motivator – N. Faqih Syarif H, S.Sos.I, M.Si, Penulis Buku-buku motivasi dan pengembangan diri di antaranya ; Al Quwwah ar ruhiyah Kekuatan Spirit Tanpa Batas dan Bila Jatuh Bangunlah ! www.cahayaislam.com atau www.fikrulmustanir.blogspot.com )
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan palajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (An Nahl : 125)
Sobat, sebagaimana kita mengetahui bahwa Islam adalah agama dakwah. Kalimah laa ilaha illallah merupakan inti ajaran Islam, sekaligus pendorong utama kegiatan dakwah. Dengan dakwah, Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia. Dakwah adalah misi utama kenabian Muhammad saw. Dakwah adalah ujud kepedulian, bahkan kasih sayang kita kepada sesama manusia.Salah satu ciri seorang muslim adalah kepeduliannya terhadap aktivitas dakwah.Melalui dakwah, kita dihindarkan dari sikap individualis.
Sobat, ilustrasi tuntutan dakwah yang begitu indah tentang dakwah ini dipaparkan Rasulullah Saw dalam salah satu haditsnya :
Bagaikan suatu rombongan yang naik kapal. Ada yang duduk di bagian atas, ada lagi yang duduk di bagian bawah. Dan bila ada orang di bagian bawah akan mengambil air, ia harus melewati orang di atasnya. Sehingga orang yang di bagian bawah tadi berpikiran, ”Seandainya aku melubangi tempat duduk milikku sendiri untuk mendapatkan air, tentu aku tidak akan mengganggu orang yang di atas”. Bila mereka mencegahnya, ia akan selamat dan semua isi kapal akan selamat, sementara bila mereka membiarkan, maka orang itu akan celaka begitupun semua isi kapal
Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas dakwah adalah aktivitas yang penting dan menyelamatkan masyarakat secara umum. Apa saja tujuan dakwah dalam Islam?
• Mentauhidkan Allah
• Menjadikan Islam sebagai pedoman hidup manusia sedunia dalam wadah daulah
• Menjadikan Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam
• Menggapai Ridha Allah
Adapun pahala dan balasan orang yang melakukan dakwah di jalan Allah dengan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar adalah sebagaimana yang disebutkan Rasulullah dalam sabdanya :
Siapa saja yang menyeru manusia pada petunjuk (Islam), dia pasti akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala yang diperoleh orang yang mengikuti petunjuk itu tanpa mengurangi sedikitpun pahalanya
(HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, an Nasa’I dan Ibn Majah)
Fakta keadaan umat Islam saat ini adalah kebodohan, kemiskinan, dan kemaksiatan yang merajalela, dijajah dan dibawah pengaruh negara adidaya, terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara, ukhwah Islamiyyahnya rendah dan tidak bisa menjalankan Islam secara Kaffah.
Sobat, yang kita takutkan adalah ketika dakwah ditinggalkan dan bukan merupakan hal penting bagi umat islam saat ini maka akan terjadi :
• Ditengah manusia berkembang kemusyrikan dan kekafiran
• Manusia akan hidup dengan hukum jahiliah, sehingga tidak ada rahmat. Yang ada adalah laknat
• Dunia akan dikendalikan oleh adikuasa jahiliah
• Bila dakwah ditinggalkan, bagaimana ridha Allah bisa didapat?
• Tidak akan ada daulah Islam
Di sinilah sobat, pentingnya dakwah bagi kehidupan umat Islam diantaranya adalah ; Menentukan muslim tidaknya manusia, dan kualitas kepribadiannya, menentukan tegak tidaknya hukum Islam, menentukan corak kehidupan manusia, kehidupan keluarga, lingkungan dan kehidupan masyarakat bahkan menentukan corak kehidupan dunia.
Sobat, Islam akan kembali tegak bila Islam didakwahkan ke tengah-tengah masyarakat sebagai ideologi dengan tanpa kekerasan dan diterapkan sebagaimana dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW.
Sobat, karakter apa saja yang harus dimiliki oleh seorang Da’i sehingga menjadi Da’i yang powerfull dan mampu menginspirasi umat untuk kembali kepada aturan Allah dan Rasul-Nya ? Berikut ini ada beberapa karakter Da’i yang harus kita perhatikan dan wujudkan dalam diri sebagai pengemban dakwah :
1. PERCAYA PADA MABDA’ ISLAM
Bahwa Islam adalah din yang diridhai Allah SWT dan sesuai dengan fitrah manusia, bahwa mabda’ Islam adalah solusi dari segenap problematika manusia dan bila ditegakkan akan membawa rahmat bagi semua, bahwa mabda’ selain Islam batil adanya, bahwa mendakwahkan mabda Islam hingga tegak di seantero dunia adalah perbuatan mulia dan kewajiban utama
2. BERANI DAN TEGAS
Berani karena benar. Keberanian para pejuang kebatilan lebih berhak dimiliki oleh para da’i , cukuplah Allah sebagai pelindung dan penolong. Dialah sebaik-sebaik pelindung dan penolong, ditangkap, disiksa, kehilangan pekerjaan bahkan kematian adalah risiko perjuangan. Bukankah semua orang akan mati? Rizki telah ditetapkan Allah, anda berjuang atau tidak. Surga dan kemuliaan di sisi Allah tidak didapat secara cuma-cuma. Perlu usaha.
3. SERIUS DAN SUNGGUH-SUNGGUH
Dakwah adalah pekerjaan yang sangat serius. Karenanya diperlukan kesungguhan. Dakwah menentukan tegak tidaknya Islam. Dakwah menentukan mulia tidaknya umat Islam. Dan dakwah Islam menentukan selamat tidaknya hidup kita di dunia dan akhirat. Maka, dakwah harus dihadapi sebagai persoalan hidup atau mati.Tidak ada yang lebih penting dalam hidup muslim lebih dari dakwah. Hayatu al-muslim hayatu al-dakwah. Semua yang dimiliki (harta, kedudukan bahkan nyawa) sesungguhnya hanyalah wasilah untuk dakwah
4. SABAR DAN TEGUH JIWA
Dakwah akan berhadapan dengan sejuta rintangan. Seorang da’i harus sabar dan teguh jiwa untuk menghadapi semua. Orang yang ingin menghancurkan Islam saja melakukannya dengan penuh kesabaran. Kehancuran Islam sudah demikian lama, secara sunatullah memerlukan waktu yang lama pula untuk membangunnya kembali. Sabar bersumber dari kesadaran bahwa semua memerlukan proses, dan keberhasilan adalah semata buah dari proses itu. Keteguhan jiwa bersumber dari kekuatan ruhiyah dibina melalui ibadah mahdah (shalat malam, puasa sunnah, dzikr, membaca al-Qur’an dsb)
5. TAK HENTI TERUS BELAJAR
Tidak ada kata berhenti belajar buat para da’i untuk terus menambah pengetahuan akan pemikiran, ide, hukum dan tsaqafah Islam (bhs Arab, fiqh, sirah dsb).Dari belajarlah , pemahaman bertambah, kesalahan diperbaiki sehingga kemampuan dalam berdakwah semakin meningkat.Belajar melalui membaca, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Serta belajar dari pengalaman. Maka seorang da’i tidak boleh berhenti mencoba hal baru dan berdialog dengan orang lain. Sikap open minded sangat penting bagi seorang da’i
6. TAK HENTI MEMPERBAIKI DIRI
Da’i menjadi cermin pengetahuan dan pengamalan Islam bagi masyarakat. Maka, seorang da’i harus terus memperbaiki diri. Seorang da’i harus mengamalkan apa yang diserunya. Melakukan yang ma’ruf dan meninggalkan yang mungkar. Dengan perbaikan terus menerus, akhlaq, ibadah, muamalah, keluarga dan semua yang tampak dari seorang da’i makin sempurna. Kesalahan seorang da’i akan berdampak lebih buruk daripada kesalahan orang biasa
7. BISA BEKERJASAMA
Dakwah bagi tegaknya mabda Islam harus dilakukan secara berjamaah. Tidak bisa sendirian. Membangun rumah saja perlu banyak orang, apalagi membangun rumah umat….. Seorang da’i harus bisa bekerjasama, terutama dengan sesama anggota jamaah dakwah. Keseriusan, kesungguhan, kesabaran, sikap istiqamah dalam dakwah serta upaya perbaikan dan pembelajaran terus menerus lebih mudah dilakukan dalam jamaah
Sobat, Ingatlah bahwa NABI adalah TELADAN PARA DA’I. Dan Nabi adalah da’i mulia. Dalam dirinya terkandung semua karakter utama. Para da’i sekarang harus mengaca kepadanya. Dialah teladan utama. Keyakinan Nabi akan mabda’ Islam, keseriusan, kesungguhan, kesabaran, sikap istiqamah dalam berdakwah tiada tara. Keberhasilan dakwah Nabi tidak bisa dilepaskan dari pancaran sosok pribadi Nabi. Maka, keberhasilan dakwah sekarang juga tidak bisa dilepaskan dari sosok karakter dai.
Sobat, derajat da’i di sisi Allah begitu luar biasa. Imam Al Hasan Al Bashri menyebut para da’i yang mulia sebagai: Habibullah (kekasih Allah),Waliyullah (wali Allah), Shafwatullah (pilihan Allah), Khairatullah (pilihan Allah),Khalifatullah (wakil Allah).
Marilah kita menjadi pengemban dakwah atau da’i yang powerfull dengan memahami kewajiban dan pentingnya dakwah serta berusaha sekuat tenaga memiliki karakter-karakter di atas. Artikel ini salah satu tulisan yang ada di buku saya terbaru .Semoga dalam waktu dua bulan ini bisa selesai dan segera di launching bersamaan dengan kelahiran putera kedua saya. Nantikan Buku saya berikutnya dengan tema ” Be A Powerfull Da’i : Kiat menjadi Da’i yang hebat mentraining dan menulis.” Semoga bermanfaat dan menjadi kontribusi bagi perjuangan dan penyadaran umat untuk kembali kepada Islam dan kejayaan Islam. Amin.
Salam Dahsyat dan Luar Biasa! Allahu Akabar !
( Spiritual Motivator – N. Faqih Syarif H, S.Sos.I, M.Si, Penulis Buku-buku motivasi dan pengembangan diri di antaranya ; Al Quwwah ar ruhiyah Kekuatan Spirit Tanpa Batas dan Bila Jatuh Bangunlah ! www.cahayaislam.com atau www.fikrulmustanir.blogspot.com )
HAWA MENGENALI ADAM
Hawa Mengenali Adam: Tulang Rusuk Mengenali Siapa Pemiliknya
22/3/2012 | 29 Rabbi al-Thanni 1433 H | Hits: 27.685
Oleh: Lhinblue Alfayruz “Sejak diturunkan ke bumi, Hawa terus memikirkan Nabi Adam. Bagaimana keadaannya sekarang? Apa ia sanggup hidup sendirian di bumi ini? Hawa bertekad untuk bertemu Nabi Adam. Hawa terus berjalan menyusuri bumi. Sesekali ia beristirahat sambil makan buah-buahan. Ia terus berdoa kepada Allah agar segera dipertemukan dengan Nabi Adam. Hawa tiba di sebuah padang pasir dan bukit yang sangat gersang. Ia sudah sangat kelelahan dan hampir putus asa. Kemudian ia berdoa kepada Allah dengan sangat khusyuk. Rupanya Allah mengabulkan doanya. Hawa melihat sosok yang sangat ia kenali. Ia adalah Nabi Adam. Hawa memanggil Nabi Adam dan Nabi pun memanggil Hawa dengan penuh kerinduan. Inilah saat yang paling membahagiakan bagi mereka.”dakwatuna.com - Itulah sepenggal kisah tentang pertemuan Adam dan Hawa di bumi dalam buku “Ensiklopedia Kisah Al-Qur’an” terbitan Gema Insani Press. Mungkin kisah ini pun menggambarkan manusia pada umumnya. Tabiat perempuan yang peduli tergambar jelas dalam penggalan cerita di atas. Hawa terus memikirkan Nabi Adam dan ingin segera bertemu dengan Nabi Adam. Apa alasannya? Ternyata, bukan karena sekadar melepas rindu dirinya pada Adam, tapi lebih memikirkan bagaimana keadaan Nabi Adam sekarang? Apakah Adam sanggup hidup sendiri di bumi? Hawa tak memikirkan dirinya sendiri. Itulah sifat dasar perempuan, ketika memutuskan sesuatu ia selalu mempertimbangkan orang lain bukan hanya kepentingan dirinya sendiri.
Ya, karena Allah menciptakan Hawa untuk menemani Adam ketika di syurga. Allah tahu bahwa Adam tak bisa hidup sendiri. Walaupun dengan kenikmatan-kenikmatan syurga yang telah ia dapatkan, tetap saja seorang Adam membutuhkan teman. Maka, Allah ciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam untuk menemani Adam di syurga.
Ketika diturunkan ke bumi dan mereka berpisah, maka naluri masing-masing pasti akan saling mencari. Dan dalam pencarian di sini digambarkan secara jelas kekhawatiran Hawa akan kondisi Adam di bumi: sanggupkah Adam hidup sendirian?
Hawa pun terus berusaha menelusuri bumi demi bertemu Adam. Uniknya, di buku ini tak diceritakan bagaimana usaha Adam menemukan Hawa, tapi lebih kepada bagaimana usaha Hawa menemukan Adam. Pastinya tak bisa dipungkiri juga bahwa tentunya Adam pun berusaha keras untuk bertemu dengan Hawa karena di syurga yang penuh kenikmatan saja Adam membutuhkan seorang teman, bagaimana dengan ketika di bumi yang berbeda jauh dari segi kenikmatan di syurga? Tentu Adam sangat membutuhkan seorang teman terlebih ketika berada di bumi. Dan tentunya ada rasa kehilangan ketika Hawa yang biasanya menemaninya di syurga tak ada di sisinya.
Memang agak sedikit berbeda, penggambaran pertemuan itu diangkat dari sisi Hawa yang berusaha bertemu Adam. Tak diceritakan pencarian seorang Adam namun lebih ditekankan pada pencarian seorang Hawa yang menunjukkan rasa pedulinya pada Adam. Hawa terus berjalan, beristirahat, berdoa di tengah lelah. Hingga akhirnya di tengah lelah yang begitu sangat dan dalam kondisi hampir putus asa, di gurun pasir yang panas dan gersang, doa khusyuknya dikabulkan Allah dan dipertemukanlah ia dengan sosok yang ia kenal. Ya, ternyata Hawa-lah yang mengenali Adam lebih dulu ketika bertemu. Sungguh, tulang rusuk mengenali siapa pemiliknya.
Mungkin akan terlontar pertanyaan begini: “Nabi Adam dan Hawa itu kan cuma dua-duanya manusia di bumi. Jadi ketika bertemu mudah untuk saling mengenali. Lantas bagaimana dengan kita yang jumlah penduduk bumi sudah sekian milyar banyaknya? Bagaimana kita bisa tahu bahwa dialah tulang rusuk kita (bagi laki-laki) atau dialah pemilik tulang rusuk ini (bagi perempuan)?
Di sinilah letak proses ta’aruf itu berperan. Tentunya ta’aruf yang syar’i, bukan sekadar kata ta’aruf namun jauh nilai-nilainya dari sebuah proses ta’aruf. Ta’aruf lah ajang saling mengenal yang [katanya] akan terasakan di sana siapa tulang rusuk atau pemilik tulang rusuk kita.
Mari kutunjukkan kisah dua orang akhwat. Ada seorang akhwat yang merasa klop dengan seorang ikhwan, merasa saling cocok, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk ta’aruf. Dalam proses ta’aruf, ternyata istikharah sang akhwat tak mantap dan ada keraguan di sana. Ta’aruf pun kandas di tengah jalan. Awalnya sebelum ta’aruf, sang akhwat menganggap bahwa ikhwan itulah pemilik tulang rusuknya. Tapi ternyata, setelah ta’aruf, bukan ikhwan itu pemilik tulang rusuknya.
Qadarullah, sang akhwat dipertemukan dengan seorang ikhwan yang belum pernah dikenal dan dipertemukan dalam sebuah proses ta’aruf. Sang akhwat pun mantap, tak ada keraguan sedikit pun dalam istikharahnya. Akhirnya, mereka menikah.
Satu lagi, ada seorang akhwat yang memblacklist seorang ikhwan untuk menjadi calon suaminya karena merasa tidak cocok secara karakter. Namun ternyata sang ikhwan berkeinginan untuk ta’aruf dengan sang akhwat. Awalnya sang akhwat menolak untuk berta’aruf dengan sang ikhwan. Atas nasihat sang guru ngaji dan istikharah beberapa kali, sang akhwat pun mencoba untuk berta’aruf dengan ikhwan yang dimaksud. Hingga akhirnya, mereka menikah.
Terlihat jelas bukan? Bahwa memang hanya sebuah proses ta’aruf yang syar’i-lah yang bisa mendatangkan petunjuk Allah. Dan sebaik-baik petunjuk itu adalah petunjukNYA.
Ada sebuah penggalan dalam artikel yang pernah dibaca:
“Kalau kita tidak mau mencoba ta’aruf, bagaimana mungkin kita tahu ia jodoh kita atau bukan. Kalau kita ta’aruf, kita akan tahu. Jika berhasil, berarti jodoh. Kalau belum berhasil, berarti belum jodoh. Iya, kan?!”
(untuk baca lebih lengkapnya bisa klik di sini.)
Jadi, memang benar, kita takkan pernah tahu siapa jodoh kita di dunia, kita takkan pernah tahu siapa pemilik tulang rusuk kita (bagi perempuan), atau siapa tulang rusuk kita yang belum ditemukan (bagi laki-laki), sebelum proses ta’aruf. Dari proses ta’aruflah, Allah memberikan petunjukNYA, menunjukkan siapa yang terbaik untuk kita.
So, buat para ikhwan yang sedang merasa seseorang itu sebagai tulang rusukmu, cobalah ta’aruf dulu. Baru kamu bisa bilang kalau dia tulang rusukmu atau bukan setelah proses ta’aruf. Dan tentunya disertai musyawarah dan istikharah. Dua hal inilah yang tak boleh ditinggalkan ketika proses ta’aruf.
Dan buat para akhwat yang berkali-kali gagal dalam proses ta’aruf, yakinlah memang mungkin belum saatnya dipertemukan dengan pemilik tulang rusukmu. Bersabarlah dan teguhkanlah kesabaranmu. Insya Allah semua kan indah pada waktunya.
Pada akhirnya, sebaik-baik jodoh adalah jodoh di akhirat, jodoh yang kekal. Namun sejatinya kita takkan pernah tahu siapa jodoh kita di akhirat. Karena belum tentu jodoh di dunia juga otomatis jodoh di akhirat. Maka yang bisa diikhtiarkan saat ini adalah mencari jodoh di dunia untuk membawanya menjadi jodoh di akhirat pula.
“Ya Allah Ya Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami nikmat di dunia dan juga nikmat di akhirat. Dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka…”
Aamiin…
dia
sebuah nama yang belum tereja
dia
sebuah rupa yang belum tersketsa
dia
sebuah sosok yang entah dimana
dia
calon nahkoda
sebuah biduk rumah tangga
dia
kuyakin ada
karna hati yang merasa
Rabbana
Jaga ia di manapun berada
Mudahkan langkahnya
Tunjukkan jalannya
Luruskan niatnya
Bulatkan tekadnya
Mantapkan hatinya
Berkahilah rizkinya
Hingga akhirnya
KAU pertemukan aku dengannya
Dalam suatu ikatan suci nan mulia
Mitsaqan ghalizha
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/03/19099/hawa-mengenali-adam-tulang-rusuk-mengenali-siapa-pemiliknya/#ixzz26ilGD8Ju
Jalan Sang Dai – Mekkah, Karakter Alami Pemikul Risalah
Jalan Sang Dai – Mekkah, Karakter Alami Pemikul Risalah
15/11/2011 | 18 Dhul-Hijjah 1432 H | Hits: 1.681
Oleh: Muhammad Elvandi, Lc
dakwatuna.com -
Bukan karena di Mekkah dakwah Islam akan berhasil sedang di tempat lain
tidak terjamin kesuksesannya seperti analisis beberapa sejarawan. Jika
seperti itu, artinya Islam tidak mampu dimulai selain dari Mekkah. Islam
hanya cocok untuk Arab. Islam tidak lebih hebat dari Mekkah. Bukan
seperti itu. Karena Islam pasti tertancap di bumi ini, di manapun ia
bermula dan bergerak. Tanpa limitasi teritori.
Lalu mengapa Mekkah? Mengapa tidak Mesir seperti nabi-nabi sebelumnya, atau di negeri besar penuh peradaban seperti Roma dan Persia, atau negeri bersejarah tua seperti India atau Cina?
Hanya Allah yang tahu dengan kesempurnaan ilmu dan ketelitiannya memilih tempat. Namun dalam konteks meneliti jalan dakwah sang dai, perlu analisis tentang mengapa Mekkah yang dipilih Allah.
Satu hal yang pasti, bahwa tidak setangkai dahan patah atau senafas angin bertiup tanpa sebab. Dan kisah agung Sang Dai dari awal markas dakwahnya lebih tidak mungkin tanpa sebab. Mencari rahasia Mekkah berarti menelusuri kualitasnya, sehingga kualitas ini menjadi model paling sempurna bagi dai untuk direkonstruksi di masa kini dan masa depan. Kualitas itu ada pada kesederhanaan manusianya. Orang-orang Arab yang tinggal di sana. Mereka punya budaya. Budaya itu adalah sejarah, tabiat, bahasanya.
Dr. Raghib as-Sirjani menyebut sepuluh hikmah dari kesederhanaan Mekkah yang justru memberikan kekuatan bagi dakwah Islam. Pertama, kemurnian risalah. Manusia-manusia Arab tidak mempunyai sejarah berfilsafat. Satu-satunya pegangan hidup mereka adalah agama Ibrahim yang masih ada sedikit sisanya, di sedikit orang. Mereka adalah manusia paling sederhana dalam hidup. Menjadi ekor peradaban dan penonton kehidupan. Bahkan hati mereka lebih dekat dengan gurun dibanding kota metropolit. Berbeda dengan Yunani yang ribuan tahun mabuk dalam filsafat, atau Roma yang sibuk dengan seabreg undang-undang, hukum-hukum, dan filsafat warisan. Apalagi Cina dengan filosofi kentalnya, atau Persia dengan ajaran Zoroasternya dan India dengan sistem kastanya.
Lalu dari ketiadaan filsafat, pemikiran dan undang-undang itu muncullah Islam yang dibawa Rasulullah di tengah masyarakat Mekkah, menawarkan seperangkat aturan hidup. Dalam kondisi seperti ini pun masih ada yang menuduh bahwa Muhammad berguru, mengkaji, berkelana mencari data dan konsep untuk mengarang Qur’an. Lalu bagaimana jika ia turun di tempat lain, nyaringlah suara-suara yang menuduh bahwa Risalah itu hasil modifikasi filsafat Yunani klasik, atau ajaran Zoroaster yang disempurnakan, atau filosofi Cina yang diarabkan. Bahkan Allah tidak menurunkan risalah ini di Palestina, agar manusia tidak mengatakan Islam hanyalah corak baru ajaran Yahudi dan Nasrani, bahwa Muhammad merevisi Taurat dan Injil sedikit-sedikit. Semua itu terbantahkan karena karakter Arab Mekkah yang primitif saat itu tidak mempunyai pengalaman dengan ajaran manapun. Kesederhanaan Mekkah menjamin orisinalitas ajaran Muhammad, bahwa Qur’an yang dibawanya bukanlah produk manusia tapi kalam Pencipta semesta. Dalam kesederhanaan inilah kualitasnya.
Kedua, mukjizat militer. Penduduk Mekkah tidak pernah mempunyai pasukan khusus sepanjang sejarahnya, apalagi tentara terlatih yang terorganisir. Karakter mereka adalah berpecah dan berperang antar suku, hingga dalam satu syair “jika tak lagi kami dapati musuh, maka kuganggu saudaraku agar perang mulai tumbuh”. Lalu tiba-tiba saja setelah datang Islam, pejuang-pejuang lokal seperti Khalid, Amr bin ‘Ash, Qa’qa bin Amr, Zaid bin Haritsah, Muhammad bin Maslamah, Abu ‘Ubaidah al-Jarrah menjulang namanya ke langit sejarah. Bahkan dalam buku ‘‘Prinsip-prinsip Peperangan’’ karangan Napoléon Bonaparte, strategi-strategi militer Khalid tertulis dengan rinci di sana. Dalam 13 tahun setelah Rasulullah wafat Persia yang berumur ribuan tahun ditaklukkan, dalam waktu itu pula mayoritas daerah kekuasaan Roma yang perkasa diambil alih.
Jika penaklukan-penaklukan spektakuler ini digelar oleh sebuah kerajaan yang mempunyai sejarah militer panjang, senjata lengkap, dalam sebuah wilayah besar tentu tidak aneh. Tapi mustahil manusia-manusia gurun yang sederhana yang tanpa pengalaman mampu meraih kesuksesan militer yang gilang gemilang kecuali dengan sentuhan Ilahi. “…bukan engkau yang melempar saat engkau melempar, tapi Allah yang melempar, dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin…” [Al-Anfal: 17]
Karakter alami Mekkah ini justru semakin menampakkan kualitas Islam. Dan kualitas inilah yang perlu direkonstruksi di zaman ini. Karena kualitas ini adalah kaidah-kaidah untuk membangun umat kapan pun itu.
Yaitu umat harus menjaga orisinalitas sumber agamanya [Qur’an dan Sunnah] dari tuduhan dan penodaan; dan keyakinan bahwa Allahlah yang mutlak memberikan kemenangan-kemenangan gemilang Islam walau umat dalam jumlah yang sedikit.
Inilah dua dari sepuluh hikmah Mekkah yang menjadi kekuatan Islam. Saat kualifikasi tersebut terpenuhi di generasi ini, maka bendera Islam perlu dijahit kembali. Karena para dai akan memasangnya pada tombak dakwah dan akan kokoh menggenggamnya untuk menaikkannya kembali ke puncak peradaban.
Lalu mengapa Mekkah? Mengapa tidak Mesir seperti nabi-nabi sebelumnya, atau di negeri besar penuh peradaban seperti Roma dan Persia, atau negeri bersejarah tua seperti India atau Cina?
Hanya Allah yang tahu dengan kesempurnaan ilmu dan ketelitiannya memilih tempat. Namun dalam konteks meneliti jalan dakwah sang dai, perlu analisis tentang mengapa Mekkah yang dipilih Allah.
Satu hal yang pasti, bahwa tidak setangkai dahan patah atau senafas angin bertiup tanpa sebab. Dan kisah agung Sang Dai dari awal markas dakwahnya lebih tidak mungkin tanpa sebab. Mencari rahasia Mekkah berarti menelusuri kualitasnya, sehingga kualitas ini menjadi model paling sempurna bagi dai untuk direkonstruksi di masa kini dan masa depan. Kualitas itu ada pada kesederhanaan manusianya. Orang-orang Arab yang tinggal di sana. Mereka punya budaya. Budaya itu adalah sejarah, tabiat, bahasanya.
Dr. Raghib as-Sirjani menyebut sepuluh hikmah dari kesederhanaan Mekkah yang justru memberikan kekuatan bagi dakwah Islam. Pertama, kemurnian risalah. Manusia-manusia Arab tidak mempunyai sejarah berfilsafat. Satu-satunya pegangan hidup mereka adalah agama Ibrahim yang masih ada sedikit sisanya, di sedikit orang. Mereka adalah manusia paling sederhana dalam hidup. Menjadi ekor peradaban dan penonton kehidupan. Bahkan hati mereka lebih dekat dengan gurun dibanding kota metropolit. Berbeda dengan Yunani yang ribuan tahun mabuk dalam filsafat, atau Roma yang sibuk dengan seabreg undang-undang, hukum-hukum, dan filsafat warisan. Apalagi Cina dengan filosofi kentalnya, atau Persia dengan ajaran Zoroasternya dan India dengan sistem kastanya.
Lalu dari ketiadaan filsafat, pemikiran dan undang-undang itu muncullah Islam yang dibawa Rasulullah di tengah masyarakat Mekkah, menawarkan seperangkat aturan hidup. Dalam kondisi seperti ini pun masih ada yang menuduh bahwa Muhammad berguru, mengkaji, berkelana mencari data dan konsep untuk mengarang Qur’an. Lalu bagaimana jika ia turun di tempat lain, nyaringlah suara-suara yang menuduh bahwa Risalah itu hasil modifikasi filsafat Yunani klasik, atau ajaran Zoroaster yang disempurnakan, atau filosofi Cina yang diarabkan. Bahkan Allah tidak menurunkan risalah ini di Palestina, agar manusia tidak mengatakan Islam hanyalah corak baru ajaran Yahudi dan Nasrani, bahwa Muhammad merevisi Taurat dan Injil sedikit-sedikit. Semua itu terbantahkan karena karakter Arab Mekkah yang primitif saat itu tidak mempunyai pengalaman dengan ajaran manapun. Kesederhanaan Mekkah menjamin orisinalitas ajaran Muhammad, bahwa Qur’an yang dibawanya bukanlah produk manusia tapi kalam Pencipta semesta. Dalam kesederhanaan inilah kualitasnya.
Kedua, mukjizat militer. Penduduk Mekkah tidak pernah mempunyai pasukan khusus sepanjang sejarahnya, apalagi tentara terlatih yang terorganisir. Karakter mereka adalah berpecah dan berperang antar suku, hingga dalam satu syair “jika tak lagi kami dapati musuh, maka kuganggu saudaraku agar perang mulai tumbuh”. Lalu tiba-tiba saja setelah datang Islam, pejuang-pejuang lokal seperti Khalid, Amr bin ‘Ash, Qa’qa bin Amr, Zaid bin Haritsah, Muhammad bin Maslamah, Abu ‘Ubaidah al-Jarrah menjulang namanya ke langit sejarah. Bahkan dalam buku ‘‘Prinsip-prinsip Peperangan’’ karangan Napoléon Bonaparte, strategi-strategi militer Khalid tertulis dengan rinci di sana. Dalam 13 tahun setelah Rasulullah wafat Persia yang berumur ribuan tahun ditaklukkan, dalam waktu itu pula mayoritas daerah kekuasaan Roma yang perkasa diambil alih.
Jika penaklukan-penaklukan spektakuler ini digelar oleh sebuah kerajaan yang mempunyai sejarah militer panjang, senjata lengkap, dalam sebuah wilayah besar tentu tidak aneh. Tapi mustahil manusia-manusia gurun yang sederhana yang tanpa pengalaman mampu meraih kesuksesan militer yang gilang gemilang kecuali dengan sentuhan Ilahi. “…bukan engkau yang melempar saat engkau melempar, tapi Allah yang melempar, dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin…” [Al-Anfal: 17]
Karakter alami Mekkah ini justru semakin menampakkan kualitas Islam. Dan kualitas inilah yang perlu direkonstruksi di zaman ini. Karena kualitas ini adalah kaidah-kaidah untuk membangun umat kapan pun itu.
Yaitu umat harus menjaga orisinalitas sumber agamanya [Qur’an dan Sunnah] dari tuduhan dan penodaan; dan keyakinan bahwa Allahlah yang mutlak memberikan kemenangan-kemenangan gemilang Islam walau umat dalam jumlah yang sedikit.
Inilah dua dari sepuluh hikmah Mekkah yang menjadi kekuatan Islam. Saat kualifikasi tersebut terpenuhi di generasi ini, maka bendera Islam perlu dijahit kembali. Karena para dai akan memasangnya pada tombak dakwah dan akan kokoh menggenggamnya untuk menaikkannya kembali ke puncak peradaban.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/11/16550/jalan-sang-dai-mekkah-karakter-alami-pemikul-risalah/#ixzz26ikefsZP
Mencermati Angka-Angka Dalam Dakwah Rasulullah Fiqih Dakwah, Sirah Nabawiyah
Mencermati Angka-Angka Dalam Dakwah Rasulullah
22/3/2007 | 05 Rabbi al-Awwal 1428 H | Hits: 16.821
Oleh: Musyafa Ahmad Rahim, Lc
dakwatuna.com – Ada
banyak orang yang momok dengan angka-angka. Mungkin karena semenjak
Sekolah Dasar, ia telah “dicekoki” dengan Matematika yang sering
diplesetkan menjadi mati-matian. Mungkin juga karena angka sangat
terkait dengan uang, dan ternyata, ia gampang-gampang susah didapatnya,
bahkan lebih sering susah dan sulitnya. Mungkin juga keseringan
menghitung angka-angka, akan tetapi tidak pernah ada wujud dan hasilnya.
Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Di dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 65-66, Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- berfirman:
66. sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.
Ada banyak orang yang momok dengan angka-angka. Mungkin karena semenjak Sekolah Dasar, ia telah “dicekoki” dengan Matematika yang sering diplesetkan menjadi mati-matian. Mungkin juga karena angka sangat terkait dengan uang, dan ternyata, ia gampang-gampang susah didapatnya, bahkan lebih sering susah dan sulitnya. Mungkin juga keseringan menghitung angka-angka, akan tetapi tidak pernah ada wujud dan hasilnya. Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Saat saya bersama anak-anak dan keluarga menonton VCD The Amazing Child, sebuah VCD yang mengisahkan bocah berusia 5 tahun yang telah hafal Al-Qur’ân Al-Karîm, dan bahkan mampu menjelaskan dan memahami kandungannya, saya dikejutkan oleh sebuah pertanyaan yang diajukan kepada sang bocah, yang isinya, meminta kepadanya untuk menyebutkan angka-angka di dalam Al-Qur’ân, dan dengan cekatan nan fashîh, sang bocah pun membaca ayat-ayat yang berisi penyebutan angka-angka.
Kenapa saya terkejut dengan pertanyaan seperti ini? Sebab, beberapa waktu yang lalu, saya juga dikejutkan oleh “protes” atau ekspresi momok sebagian aktivis dakwah terhadap angka-angka.
Dari dua kejutan ini, saya pun mencoba mencari-cari, adakah angka-angka di dalam Al-Qur’an, dan juga dalam sirah (perjalanan) hidup nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-?
Jawaban bocah dalam VCD yang saya tonton, memberi inspirasi kepada saya untuk mencoba mencermati angka-angka ini, yang di antara hasilnya adalah sebagai berikut:
Al-Qur’ân Al-Karîm telah menyebutkan beraneka macam angka, mulai dari pecahan, satuan, belasan, puluhan, ratusan, ribuan dan bahkan ratusan ribu.
Angka-angka pecahan yang disebutkan Al-Qur’ân adalah seperdelapan (1/8), seperenam (1/6), seperempat (1/4), dan setengah (1/2).
Angka-angka satuan, belasan, puluhan, ratusan dan ribuan yang disebutkan Al-Qur’ân adalah satu (1), dua (2), tiga (3), empat (4), lima (5) enam (6), tujuh (7), delapan (8) dan sembilan (9), sepuluh (10), sebelas (11), dua belas (12), sembilan belas (19), dua puluh (20), tiga puluh (30), empat puluh (40), lima puluh (50), enam puluh (60), tujuh puluh (70), delapan puluh (80), seratus (100), dua ratus (200), tiga ratus (300), sembilan ratus lima puluh (950), seribu (1000), dua ribu (2000), tiga ribu (3000), lima ribu (5000) dan angka terbesar yang disebutkan Al-Qur’ân Al-Karîm adalah seratus ribu (100.000).
Kesimpulan sementara saya setelah mendapatkan angka-angka ini: “ternyata, Al-Qur’ân Al-Karîm menyebutkan angka-angka”, karenanya, kita tidak boleh alergi atau momok dengan angka-angka.
Bagaimana dengan perjalanan hidup (sîrah) Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-?
Bila kita mencoba merunut (membaca secara berurutan) perjalanan hidup (sîrah) beliau –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-, ternyata, semenjak awal, para penutur (yang menuturkan dan mengisahkan) serta penulis sîrah beliau, juga sudah akrab dengan angka-angka.
Dalam kitab Al-’Ibar Fî Durûs (Khabar) Man Ghabar, dalam peristiwa tahun 17 H, Al-Hâfizh Al-Dzahabî menulis:
Dalam riwayat lain, yang menempati nomor urut ketujuh adalah Sa'ad bin Abî Waqqâsh –radhiyallâhu 'anhu- [Al-Sunan Al-Kubrâ karya Al-Baihaqi juz 1, hal. 106, lihat pula: Ma'ânî Al-Qur'ân, karya Al-Nahhâs saat menafsirkan Q.S. Al-Mâidah: 12).
Riwayat lain mengatakan bahwa yang menempati nomor urut ketujuh adalah Utsmân bin Al-Arqâm [Al-Mustadrak, karya Al-Hâkim, hadîts no. 6181].
Siapapun yang benar darinya tidaklah penting [2], yang terpenting di sini adalah bahwa semenjak awal, masalah angka-angka dalam sîrah nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- telah menjadi perhatian para penutur dan penulis sejarah perjalanan hidup beliau –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- ini.
Dan setelah beliau –Shallallâhu ‘alaihi wa sallam- hijrah ke Yatsrib (kemudian dikenal sebagai Al-Madinah atau kota nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-), dan Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- mulai mengizinkan peperangan kepada kaum muslimin, para penulis sîrah menyuguhkan data-data angka sebagai berikut:
Ada empat hal yang menarik dari angka-angka di atas, yaitu:
Jika kita menengok kepada tahun dua Hijriyah, saat beliau –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- belum lama tiba di Madinah, yaitu saat itu beliau memerintahkan kepada kaum muslimin untuk melakukan sensus tertulis terhadap semua orang yang telah menyatakan masuk Islam, rasanya terlalu jauh kalau kita berpendapat bahwa angka-angka pertumbuhan seperti di atas terjadi secara kebetulan. Pemahaman yang lebih dekat kepada kebenaran (jika tidak kita katakana kebenaran) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hal itu memang sesuatu yang direncanakan oleh Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-
Dalam kitab Shahîh Muslim disebutkan sebagai berikut:
Dan di dalam kitab Shahîh Bukhârî disebutkan:
Beberapa Komentar Terhadap Dua Riwayat Ini
Catatan Kaki:
[1] Maksudnya: mereka tidak mengerti bahwa perang itu haruslah untuk membela keyakinan dan mentaati perintah Allah. mereka berperang hanya semata-mata mempertahankan tradisi Jahiliyah dan maksud-maksud duniawiyah lainnya.
[2] Kemungkinan yang rajîh adalah isyarat Al-Dzahabî di atas, berdasarkan pada riwayat yang dikeluarkan oleh Ibn Abî ‘Âshim sebagai berikut:
Di dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 65-66, Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- berfirman:
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ
مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ
مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ
قَوْمٌ لا يَفْقَهُونَ (٦٥) الآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ
فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا
مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ
اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (٦٦)
65. Hai Nabi,
Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh
orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua
ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar di antaramu,
niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir,
disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti [1].66. sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.
Ada banyak orang yang momok dengan angka-angka. Mungkin karena semenjak Sekolah Dasar, ia telah “dicekoki” dengan Matematika yang sering diplesetkan menjadi mati-matian. Mungkin juga karena angka sangat terkait dengan uang, dan ternyata, ia gampang-gampang susah didapatnya, bahkan lebih sering susah dan sulitnya. Mungkin juga keseringan menghitung angka-angka, akan tetapi tidak pernah ada wujud dan hasilnya. Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Saat saya bersama anak-anak dan keluarga menonton VCD The Amazing Child, sebuah VCD yang mengisahkan bocah berusia 5 tahun yang telah hafal Al-Qur’ân Al-Karîm, dan bahkan mampu menjelaskan dan memahami kandungannya, saya dikejutkan oleh sebuah pertanyaan yang diajukan kepada sang bocah, yang isinya, meminta kepadanya untuk menyebutkan angka-angka di dalam Al-Qur’ân, dan dengan cekatan nan fashîh, sang bocah pun membaca ayat-ayat yang berisi penyebutan angka-angka.
Kenapa saya terkejut dengan pertanyaan seperti ini? Sebab, beberapa waktu yang lalu, saya juga dikejutkan oleh “protes” atau ekspresi momok sebagian aktivis dakwah terhadap angka-angka.
Dari dua kejutan ini, saya pun mencoba mencari-cari, adakah angka-angka di dalam Al-Qur’an, dan juga dalam sirah (perjalanan) hidup nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-?
Jawaban bocah dalam VCD yang saya tonton, memberi inspirasi kepada saya untuk mencoba mencermati angka-angka ini, yang di antara hasilnya adalah sebagai berikut:
Al-Qur’ân Al-Karîm telah menyebutkan beraneka macam angka, mulai dari pecahan, satuan, belasan, puluhan, ratusan, ribuan dan bahkan ratusan ribu.
Angka-angka pecahan yang disebutkan Al-Qur’ân adalah seperdelapan (1/8), seperenam (1/6), seperempat (1/4), dan setengah (1/2).
Angka-angka satuan, belasan, puluhan, ratusan dan ribuan yang disebutkan Al-Qur’ân adalah satu (1), dua (2), tiga (3), empat (4), lima (5) enam (6), tujuh (7), delapan (8) dan sembilan (9), sepuluh (10), sebelas (11), dua belas (12), sembilan belas (19), dua puluh (20), tiga puluh (30), empat puluh (40), lima puluh (50), enam puluh (60), tujuh puluh (70), delapan puluh (80), seratus (100), dua ratus (200), tiga ratus (300), sembilan ratus lima puluh (950), seribu (1000), dua ribu (2000), tiga ribu (3000), lima ribu (5000) dan angka terbesar yang disebutkan Al-Qur’ân Al-Karîm adalah seratus ribu (100.000).
Kesimpulan sementara saya setelah mendapatkan angka-angka ini: “ternyata, Al-Qur’ân Al-Karîm menyebutkan angka-angka”, karenanya, kita tidak boleh alergi atau momok dengan angka-angka.
Bagaimana dengan perjalanan hidup (sîrah) Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-?
Bila kita mencoba merunut (membaca secara berurutan) perjalanan hidup (sîrah) beliau –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-, ternyata, semenjak awal, para penutur (yang menuturkan dan mengisahkan) serta penulis sîrah beliau, juga sudah akrab dengan angka-angka.
Dalam kitab Al-’Ibar Fî Durûs (Khabar) Man Ghabar, dalam peristiwa tahun 17 H, Al-Hâfizh Al-Dzahabî menulis:
وَفِيْهَا
تُوُفِّيَ عُتْبَةُ بْنُ غَزْوَانَ اَلْمَازِنِيّ، أَحَدُ السَّابِقِيْنَ
اَلأَوَّلِيْنَ. يُقَالُ أَسْلَمَ سَابِعَ سَبْعَةٍ
Pada tahun
tujuh belas Hijriyah (17 H) telah wafat ‘Utbah bin Ghazwân Al-Mâzinî
–radhiyallâhu ‘anhu-; salah seorang yang pertama-tama masuk Islam, ada
pendapat mengatakan bahwa dia adalah orang yang masuk Islam dengan nomor
urut tujuh. [lihat juga Mushannaf Ibn Abî Syaibah juz 8, hal. 45, 199, 452).Dalam riwayat lain, yang menempati nomor urut ketujuh adalah Sa'ad bin Abî Waqqâsh –radhiyallâhu 'anhu- [Al-Sunan Al-Kubrâ karya Al-Baihaqi juz 1, hal. 106, lihat pula: Ma'ânî Al-Qur'ân, karya Al-Nahhâs saat menafsirkan Q.S. Al-Mâidah: 12).
Riwayat lain mengatakan bahwa yang menempati nomor urut ketujuh adalah Utsmân bin Al-Arqâm [Al-Mustadrak, karya Al-Hâkim, hadîts no. 6181].
Siapapun yang benar darinya tidaklah penting [2], yang terpenting di sini adalah bahwa semenjak awal, masalah angka-angka dalam sîrah nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- telah menjadi perhatian para penutur dan penulis sejarah perjalanan hidup beliau –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- ini.
Dan setelah beliau –Shallallâhu ‘alaihi wa sallam- hijrah ke Yatsrib (kemudian dikenal sebagai Al-Madinah atau kota nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-), dan Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- mulai mengizinkan peperangan kepada kaum muslimin, para penulis sîrah menyuguhkan data-data angka sebagai berikut:
Tahun
|
Peristiwa
|
Pasukan Islam
|
Keterangan
|
Dua (2)
|
Perang Badar
|
313
| |
Tiga (3)
|
Perang Uhud
|
1000 (700)
|
300 orang pulang
|
Lima (5)
|
Perang Ahzâb
|
3000
| |
Delapan (8)
|
Fathu Makah
|
10.000
| |
Sembilan (9)
|
Perang Tabuk
|
30.000
|
- Ada pertumbuhan cepat jumlah pasukan Islam dari tahun ke tahun. Dari Badar ke Uhud (tempo satu tahun) telah terjadi pertumbuhan jumlah pasukan Islam sebanyak tiga kali lipat (300%), begitu juga dari Uhud ke Ahzâb (tempo dua tahun). Yang menarik adalah pertumbuhan dari tahun ke lima (Ahzâb) ke tahun delapan (Fathu Makah), sebab, dalam tempo tiga tahun, pasukan Islam telah berlipat ganda menjadi 10.000 pasukan (lebih dari 300%).
- Suasana “damai” atau genjatan senjata dengan pihak Makah melalui Shulh Hudaibiyah (perdamaian Hudaibiyah) pada tahun 6 Hijriyah, telah dioptimalkan oleh Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- untuk menyebar luaskan dakwah seluas-luasnya, di samping untuk menyelesaikan urusan strategis lainnya, misalnya: penyerbuan ke benteng Yahudi di Khaibar (tahun 7 H).
- Pada tahun 9 Hijriyah dan “hanya” dalam tempo satu tahun, jumlah pasukan Islam telah berlipat ganda menjadi 30.000 pasukan (300%). Hal ini terjadi karena Makah yang menjadi musuh dakwah telah tidak ada dan berubah menjadi bagian dari pendukung dakwah.
- Ada pertumbuhan yang relative “terjaga” dari jumlah pasukan Islam, yaitu sekitar 300%, walaupun tempo yang dilaluinya berbeda-beda.
Jika kita menengok kepada tahun dua Hijriyah, saat beliau –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- belum lama tiba di Madinah, yaitu saat itu beliau memerintahkan kepada kaum muslimin untuk melakukan sensus tertulis terhadap semua orang yang telah menyatakan masuk Islam, rasanya terlalu jauh kalau kita berpendapat bahwa angka-angka pertumbuhan seperti di atas terjadi secara kebetulan. Pemahaman yang lebih dekat kepada kebenaran (jika tidak kita katakana kebenaran) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hal itu memang sesuatu yang direncanakan oleh Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-
Dalam kitab Shahîh Muslim disebutkan sebagai berikut:
عَنْ
حُذَيْفَةَ قَالَ : كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَحْصُوا لِي كَمْ يَلْفِظُ اْلإِسْلاَمَ، قَالَ :
فَقُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَخَافُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ مَا بَيْنَ
السِّتِّ مِائَةٍ إِلَى السَّبْعِ مِائَةٍ! [رواه مسلم، رقم 149]
Dari Hudzaifah
–radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: Kami bersama Rasulullâh –shallallâhu
‘alaihi wa sallam-, lalu beliau bersabda: “Lakukanlah ihshâ’ untukku berapa orang yang telah menyatakan Islam”. Hudzaifah
berkata: ‘maka kami berkata: ‘Wahai Rasulullâh, adakah engkau
mengkhawatirkan kami? Sementara jumlah kami antara 600 sampai tujuh
ratus! .. [H.R. Muslim, no. 149]Dan di dalam kitab Shahîh Bukhârî disebutkan:
عَنْ
حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اكْتُبُوا لِي مَنْ تَلَفَّظَ بِاْلإِسْلاَمِ
مِنْ النَّاسِ، فَكَتَبْنَا لَهُ أَلْفًا وَخَمْسَ مِائَةِ رَجُلٍ … عَنْ
الأَعْمَشِ : فَوَجَدْنَاهُمْ خَمْسَ مِائَةٍ قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ :
مَا بَيْنَ سِتِّ مِائَةٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةٍ [البخاري، رقم 3060]
Dari Hudzaifah
–radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: Nabi –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-
bersabda: “Tuliskan untukku orang-orang yang telah menyatakan Islam”.
Maka kami menuliskan untuk beliau seribu lima ratus laki-laki … Dari
Al-A’masy: Maka kami mendapati mereka berjumlah 500. Abû Mu’âwiyah
berkata: antara 600 – 700 [H.R. Bukhârî, no. 3060]Beberapa Komentar Terhadap Dua Riwayat Ini
- Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhawî: “Kalau saja terjadi pengkodifikasian ulang hadîts, maka saya mengusulkan agar dua riwayat ini dimasukkan ke dalam kitâb al-’ilm (kumpulan hadîts yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan), sebab, al-ihshâ’ (penghitungan, kalkulasi, sensus dan statistic) merupakan dasar berbagai macam ilmu pengetahuan”. [lihat: Al-Rasûl wa al-'Ilm].
- Menurut Al-Dâwudî, angka-angka yang disebutkan dalam riwayat ini tidaklah kontradiktif, sebab, ada kemungkinan ihshâ’ dilakukan berkali-kali. [Fath al-Bârî saat mensyarah hadîts di atas].
- Menurut Ibn Al-Munîr, sensus tertulis tidaklah kontradiktif dengan keberkahan, bahkan, penulisan yang diperintahkan itu merupakan kemaslahatan agama. [Fath al-Bârî saat mensyarah hadîts di atas].
- Dalam terjemahan sederhana, kata ihshâ’ berarti: menghitung. Namun, dalam konteks ilmiah, ihshâ’ juga bermakna kalkulasi, sensus dan bahkan statistic dan grafik. Makna inilah yang oleh Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhaî –hafizhahullâh- disebut sebagai dasar ilmu pengetahuan modern, karenanya beliau mengusulkan agar hadîts ini dimasukkan ke dalam kitâb al-’ilm. Wallâhu a’lam.
- Dua riwayat yang “berbeda”, di mana yang satunya menyebutkan uhshû dan satunya mengatakan uktubû, juga tidak kontradiktif, sebab bisa digabungkan dan saling melengkapi, sehingga bisa dipahami bahwa perintah Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- kepada para sahabat adalah agar mereka melakukan ihshâ’ secara tertulis, dan tidak cukup sekedar lisan sahaja. Hal ini menegaskan betapa penting peranan ihshâ’ tertulis ini, agar data benar-benar valid dan akurat.
- Perbedaan angka-angka sebagaimana disebut dalam periwayatan hadîts ini, dan sebagaimana dipahami tidak kontradiktif oleh Al-Dâwûdî, juga bisa dipahami bahwa para sahabat nabi terus dan selalu melakukan apa yang di zaman sekarang disebut dengan istilah updating data atau pemutakhiran data dari waktu ke waktu, dan ternyata, updating itu menunjukkan adanya pergerakan naik yang terus menerus; 500, 600, 700 dan 1500. Wallâhu a’lam.
Catatan Kaki:
[1] Maksudnya: mereka tidak mengerti bahwa perang itu haruslah untuk membela keyakinan dan mentaati perintah Allah. mereka berperang hanya semata-mata mempertahankan tradisi Jahiliyah dan maksud-maksud duniawiyah lainnya.
[2] Kemungkinan yang rajîh adalah isyarat Al-Dzahabî di atas, berdasarkan pada riwayat yang dikeluarkan oleh Ibn Abî ‘Âshim sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخ ، وَهُدْبَة بْنُ خَالِد ، قَالاَ : ثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيْرَةَ ، نَا حُمَيْدٌ بْنُ هِلاَل ، عَنْ خَالِدٍ
بْنِ عُمَيْر ، قَالَ : خَطَبَنَا عُتْبَةُ بْنُ غَزْوَان رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ ، فَحَمِدَ اللهَ تَعَالَى ، وَأَثْنَى عَلَيْهِ ، ثُمَّ قَالَ : «
لَقَدْ رَأَيْتُنِي سَابِعَ سَبْعَةٍ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، مَا لَنَا طَعَامٌ إِلاَّ وَرَقُ الشَّجَرِ ، حَتَّى
خَرَجَتْ أَشْدَاقُنَا، فَالْتَقَطْتُ بُرْدَةً، فَشَقَقْتُهَا بَيْنِيْ
وَبَيْنَ سَعْدٍ بْنِ مَالِكٍ
[الآحاد والمثاني لابن أبي عاصم]
281-
Telah menceritakan kepada kami Syaibân bin Farrûkh dan Hudbah bin
Khâlid, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Sulaimân bin
Al-Mughîrah, ia berkata: telah memberitakan kepada kami Humaid
bin Hilâl, dari Khâlid bin ‘Umair, ia berkata: Telah menyampaikan
khutbah kepada kami ‘Utbah bin Ghazwân – radhiyallâhu ‘anhu-, lalu ia
memuji Allâh Ta’âlâ dan memuji-Nya, kemudian ia berkata: “Saya telah
melihat diriku sebagai yang ketujuh dari tujuh orang bersama Rasulullâh
–shallallâhu ‘alaihi wa sallam-, kami tidak memiliki makanan apapun
selain dedaunan pohon, sehingga ujung bibir kami sampai keluar, lalu aku
menemukan selembar kulit, maka saya belah menjadi dua bagian, sebagian
untukku dan sebagian lagi untuk Sa’ad bin Malik (Abî Waqqâsh)“. [Al-Âhâd wa Al-Matsânî, karya Ibn Abî 'Âshim]. Wallâhu a’lam.Sumber: http://www.dakwatuna.com/2007/03/134/mencermati-angka-angka-dalam-dakwah-rasulullah-saw/#ixzz26iiPteCM
PROFESIONALISME DALAM DAKWAH
Profesionalisme Dalam Dakwah
5/2/2008 | 26 Muharram 1429 H | Hits: 4.539
Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
dakwatuna.com – “Katakanlah:
“Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah (argumentasi) yang nyata, Maha Suci
Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (Yusuf: 108)
Kata kunci dari ayat ini seharusnya adalah kata “Bashirah” yang merupakan acuan profesionalitas dalam Islam. Semakin luas dan tajam bashirah seseorang, akan semakin profesional menggeluti bidang kerjanya. Apalagi konteks ayat ini jelas dalam konteks dakwah yang merupakan pekerjaan yang paling mulia. Dalam ayat ini Allah mendampingkan proses kewajiban dakwah dengan bashirah sebagai sebuah faridhah syar’iyyah yang dituntut oleh Islam. Justru kehidupan ini diciptakan oleh Allah diantaranya memang untuk menguji siapa yang benar-benar ihsan (baca: profesional) dalam beramal. “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (Al-Mulk: 2).
Ibnu Katsir mengidentifikasi bashirah sebagai sebuah keyakinan yang berlandaskan argumentasi syar’i dan aqli yang kokoh, serta tidak taklid buta. Menurut Syaukani, bashirah adalah pengetahuan yang mampu memilah yang hak dari yang bathil, yang benar dari yang salah dan begitu seterusnya. Inilah bangunan profesionalisme dalam dakwah yang tegaskan oleh ayat di atas; yaitu beramal dan berdakwah atas dasar ilmu, keyakinan, tiada keraguan apalagi persepsi yang tidak benar terhadap dakwah. Disinilah peri pentingnya sebuah pembinaan yang kontinu – meskipun – terhadap da’i, karena da’i lah justru inti dari sebuah proses dakwah. Bahkan dikatakan dalam sebuah pepatah “beramal tanpa ilmu lebih banyak merusaknya daripada memperbaiki”.
Agar rasa dan sikap profesionalitas tampil, maka segala aktifitas seseorang harus diawali dengan sebuah kesadaran “nawaitu” yang benar. Diawali dengan taubatan nasuha yang akan memperbaiki hubungan dengan Allah. Salah dan bergesernya niat akan turut mempengaruhi kinerja seseorang dan mengakibatkan kerja yang asal-asalan, tidak sempurna dan cenderung apa adanya. Sofyan Tsauri pernah mengungkapkan: “Tidak ada sesuatu yang lebih aku perhatikan selain dari niat”. Inilah rahasianya kenapa setiap amal dalam Islam harus didasari niat yang benar dan tulus karena Allah. Rasa takut akan pertanggung jawaban dakwah di hadapan Allah juga akan turut memperkuat keseriusan dan kejelasan dakwah seseorang. Inilah maksud firman Allah swt: “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan”. (33: 39)
Dalam konteks ini, Dr. Ali Abdul Halim Mahmud menegaskan bahwa “Ahliyyatud Du’at” (baca: kualifikasi dan profesionalisme para da’i) merupakan persoalan besar dalam dakwah yang harus diperhatikan dengan baik dan tidak boleh diabaikan dalam keadaan apapun. Karena para da’i dari kalangan nabipun merupakan manusia pilihan Allah, “Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia; sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Al-Hajj: 75). Selanjutnya Ibnu Qayyim merumuskan beberapa bangunan profesionalisme dakwah yang ternyata diawali dengan persoalan ilmu: Memiliki landasan ilmu atas apa yang ia sampaikan (Al-Ilmu Bima Yuballigh) yang diteruskan secara implementatif dengan sikap jujur dan benar terhadap apa yang ia sampaikan (Ash-Shidqu Fima Yuballigh) . Disinilah kedudukan ilmu sebagai pondasi dalam beramal. “Setiap orang yang beramal tanpa ilmu, maka amalnya tertolak, tidak diterima”.
Seorang yang profesional adalah seorang yang tekun, sabar dan tahan godaan, senantiasa dinamis dan mencari kreatifitas baru dalam berdakwah, karena memang ia tidak akan pernah setuju dan rela jika dakwah ini vakum, berjalan di tempat dan tidak mendapat tempat di hati umat. Contoh paling fenomenal adalah nabi Nuh as. Ditengah penolakan kaumnya, ia tetap mencari terobosan baru dalam berdakwah agar keberlangsungan dakwah bisa dipertahankan. Ia tetap komit dan tegar, bahkan mencari alternatif sarana dakwah yang beragam sesuai dengan kondisi dan tuntutan kaumnya: “Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran)…… Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam”. (Nuh: 5-9).
Disinilah profesionalitas kita akan terus diuji dengan beragam ujian sehingga akan lahir kaliber manusia yang diabadikan oleh Allah sebagai kelompok yang tetap tegar dan jujur dalam dakwah mereka, “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya)”. (Al-Ahzab: 23). Inilah prinsip yang senatiasa dipegang oleh para pendahulu dakwah, karena mereka yakin bahwa kecintaan Allah hAnya akan dianugerahkan kepada mereka yang beramal dengan tulus, cerdas, tuntas dan serius. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah cinta jika hambaNya beramal dengan itqan”. Itqan dalam arti berbuat lebih banyak, lebih bermutu dan berkualitas dari umumnya orang mampu berbuat dan bekerja, seperti yang Allah gambarkan tentang kelompok manusia muhsin yang mampu beramal, lebih tinggi di atas rata-rata kebanyakan manusia sanggup beramal. “Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat dengan ihsan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar”. (Adz-Dzariyat: 16-18)
Ruang dakwah ke depan memang akan menuntut lebih profesionalisme kita dalam konteks “keilmuan” yang bisa dipertanggungjawabkan (bashirah) sehingga dakwah citra dakwah ini akan tetap baik seiring dengan permasalahan dan perkembangan dunia global yang lebih menantang. Mari ciptakan suasana ilmiyyah yang merupakan komponen dasar dari profesionalitas dalam dakwah kita. Allahu a’lam
Kata kunci dari ayat ini seharusnya adalah kata “Bashirah” yang merupakan acuan profesionalitas dalam Islam. Semakin luas dan tajam bashirah seseorang, akan semakin profesional menggeluti bidang kerjanya. Apalagi konteks ayat ini jelas dalam konteks dakwah yang merupakan pekerjaan yang paling mulia. Dalam ayat ini Allah mendampingkan proses kewajiban dakwah dengan bashirah sebagai sebuah faridhah syar’iyyah yang dituntut oleh Islam. Justru kehidupan ini diciptakan oleh Allah diantaranya memang untuk menguji siapa yang benar-benar ihsan (baca: profesional) dalam beramal. “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (Al-Mulk: 2).
Ibnu Katsir mengidentifikasi bashirah sebagai sebuah keyakinan yang berlandaskan argumentasi syar’i dan aqli yang kokoh, serta tidak taklid buta. Menurut Syaukani, bashirah adalah pengetahuan yang mampu memilah yang hak dari yang bathil, yang benar dari yang salah dan begitu seterusnya. Inilah bangunan profesionalisme dalam dakwah yang tegaskan oleh ayat di atas; yaitu beramal dan berdakwah atas dasar ilmu, keyakinan, tiada keraguan apalagi persepsi yang tidak benar terhadap dakwah. Disinilah peri pentingnya sebuah pembinaan yang kontinu – meskipun – terhadap da’i, karena da’i lah justru inti dari sebuah proses dakwah. Bahkan dikatakan dalam sebuah pepatah “beramal tanpa ilmu lebih banyak merusaknya daripada memperbaiki”.
Agar rasa dan sikap profesionalitas tampil, maka segala aktifitas seseorang harus diawali dengan sebuah kesadaran “nawaitu” yang benar. Diawali dengan taubatan nasuha yang akan memperbaiki hubungan dengan Allah. Salah dan bergesernya niat akan turut mempengaruhi kinerja seseorang dan mengakibatkan kerja yang asal-asalan, tidak sempurna dan cenderung apa adanya. Sofyan Tsauri pernah mengungkapkan: “Tidak ada sesuatu yang lebih aku perhatikan selain dari niat”. Inilah rahasianya kenapa setiap amal dalam Islam harus didasari niat yang benar dan tulus karena Allah. Rasa takut akan pertanggung jawaban dakwah di hadapan Allah juga akan turut memperkuat keseriusan dan kejelasan dakwah seseorang. Inilah maksud firman Allah swt: “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan”. (33: 39)
Dalam konteks ini, Dr. Ali Abdul Halim Mahmud menegaskan bahwa “Ahliyyatud Du’at” (baca: kualifikasi dan profesionalisme para da’i) merupakan persoalan besar dalam dakwah yang harus diperhatikan dengan baik dan tidak boleh diabaikan dalam keadaan apapun. Karena para da’i dari kalangan nabipun merupakan manusia pilihan Allah, “Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia; sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Al-Hajj: 75). Selanjutnya Ibnu Qayyim merumuskan beberapa bangunan profesionalisme dakwah yang ternyata diawali dengan persoalan ilmu: Memiliki landasan ilmu atas apa yang ia sampaikan (Al-Ilmu Bima Yuballigh) yang diteruskan secara implementatif dengan sikap jujur dan benar terhadap apa yang ia sampaikan (Ash-Shidqu Fima Yuballigh) . Disinilah kedudukan ilmu sebagai pondasi dalam beramal. “Setiap orang yang beramal tanpa ilmu, maka amalnya tertolak, tidak diterima”.
Seorang yang profesional adalah seorang yang tekun, sabar dan tahan godaan, senantiasa dinamis dan mencari kreatifitas baru dalam berdakwah, karena memang ia tidak akan pernah setuju dan rela jika dakwah ini vakum, berjalan di tempat dan tidak mendapat tempat di hati umat. Contoh paling fenomenal adalah nabi Nuh as. Ditengah penolakan kaumnya, ia tetap mencari terobosan baru dalam berdakwah agar keberlangsungan dakwah bisa dipertahankan. Ia tetap komit dan tegar, bahkan mencari alternatif sarana dakwah yang beragam sesuai dengan kondisi dan tuntutan kaumnya: “Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran)…… Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam”. (Nuh: 5-9).
Disinilah profesionalitas kita akan terus diuji dengan beragam ujian sehingga akan lahir kaliber manusia yang diabadikan oleh Allah sebagai kelompok yang tetap tegar dan jujur dalam dakwah mereka, “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya)”. (Al-Ahzab: 23). Inilah prinsip yang senatiasa dipegang oleh para pendahulu dakwah, karena mereka yakin bahwa kecintaan Allah hAnya akan dianugerahkan kepada mereka yang beramal dengan tulus, cerdas, tuntas dan serius. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah cinta jika hambaNya beramal dengan itqan”. Itqan dalam arti berbuat lebih banyak, lebih bermutu dan berkualitas dari umumnya orang mampu berbuat dan bekerja, seperti yang Allah gambarkan tentang kelompok manusia muhsin yang mampu beramal, lebih tinggi di atas rata-rata kebanyakan manusia sanggup beramal. “Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat dengan ihsan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar”. (Adz-Dzariyat: 16-18)
Ruang dakwah ke depan memang akan menuntut lebih profesionalisme kita dalam konteks “keilmuan” yang bisa dipertanggungjawabkan (bashirah) sehingga dakwah citra dakwah ini akan tetap baik seiring dengan permasalahan dan perkembangan dunia global yang lebih menantang. Mari ciptakan suasana ilmiyyah yang merupakan komponen dasar dari profesionalitas dalam dakwah kita. Allahu a’lam
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/02/384/profesionalisme-dalam-dakwah/#ixzz26ihv3YWs
BERANI DI JALAN DAKWAH
Berani Di Jalan Dakwah
27/5/2008 | 22 Jumada al-Ula 1429 H | Hits: 4.156
Oleh: Tim dakwatuna.com
dakwatuna.com
– Kehidupan dunia ini diiringi kesulitan demi kesulitan (Al Balad: 4).
Sehingga, kesulitan adalah sesuatu yang tak bisa dielakkan. Itu realita
perjalanan dunia ini. Kesulitan menjadi risiko hidup. Tak seorang pun
yang lepas dari kenyataan itu. Namun yang acapkali terjadi adalah takut
terhadap risiko yang bakal muncul lantaran kekerdilan jiwa untuk
menghadapinya. Lalu timbullah ketakutan-ketakutan. Rasa ketakutan ini
cuma menggiring seseorang menjadi pengecut. Dan akhirnya lari dari
kenyataan.
Sifat
pengecut dipandang sebagai sifat tercela yang tidak boleh dimiliki
orang-orang yang beriman. Karena pengecut artinya ia tidak mau
menanggung dan menghadapi risiko yang memang sudah menjadi
konsekuensinya. Perilaku ini merupakan perilaku orang-orang yang
setengah hati dalam keimanan, hanya ingin serba enak tanpa harus
bersusah payah menghadapi masalah rumit. Sifat pengecut akan menjadi
penghalang untuk maju dan pemberat langkah kesuksesan.
Saat
ini dunia dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki sifat pengecut.
Sebuah hadits Nabi saw. memprediksikan di suatu masa umat Islam akan
menjadi bulan-bulanan dan santapan empuk musuh-musuh Islam karena sudah
mengidap penyakit wahn, yakni cinta dunia dan takut mati.
Memang, penyakit wahn-lah yang menyebabkan umat Islam banyak yang
menjadi pengecut sehingga tidak lagi disegani oleh musuh-musuhnya yakni
kaum kafir, musyrikin dan munafikin.
Islam
memandang hina orang yang pengecut. Baik pengecut untuk mempertahankan
hidup sehingga gampang putus asa. Pengecut lantaran takut dikucilkan
dari komunitasnya. Pengecut karena berlainan dengan sikap banyak orang.
Atau pengecut untuk membela sebuah nilai. Kemudian menjerumuskan
pelakunya pada sikap yang plin-plan tanpa prinsip. Rasulullah saw.
bersabda, “Janganlah kamu menjadi orang yang tidak punyai sikap.
Bila orang melakukan kebaikan maka aku pun melakukannya. Namun bila
orang melakukan keburukan maka aku pun ikut melakukannya juga. Akan
tetapi jadilah orang yang punya sikap dan keberanian. Jika orang
melakukan kebaikan maka aku melakukannya. Namun jika orang melakukan
keburukan maka aku tinggalkan sikap buruk mereka.” (Tirmidzi)
Allah
swt. selalu menggelorakan orang-orang yang beriman agar jangan takut,
jangan pengecut. Karena rasa takut akan membawa kegagalan dan kekalahan.
Akan tetapi keberanian menjadi seruan yang terus berulang-ulang
dikumandangkan. Karena keberanian adalah tuntutan keimanan. Iman pada
Allah swt. mengajarkan menjadi orang-orang yang berani menghadapi
beragam risiko dalam hidup ini terlebih lagi, risiko dalam
memperjuangkan dakwah ini.
Syaja’ah
atau keberanian merupakan jalan untuk mewujudkan sebuah kemenangan dan
sebagai izzah keimanan. Tak pernah boleh ada, kata gentar bagi kader
dakwah saat mengemban tugas bila ingin meraih kegemilangan. Dari sisi
inilah kaum yang beriman berada jauh di atas kebanyakan orang. Karena
izzah keimanan menuntun mereka untuk tidak takut dan gentar sedikitpun.
“Janganlah
kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal
kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu
orang-orang yang beriman”. (Ali Imran: 139)
Dahulu
yang membuat gentar musuh-musuh Islam adalah keberanian pejuang-pejuang
Islam yang menghambur ke medan perang dengan suka cita karena
pilihannya sama-sama baik yakni hidup mulia dengan meraih kemenangan
atau mati syahid di jalan Allah. Bahkan mereka jauh mencintai kemuliaan
sebagai syahid sebagaimana kecintaan kaum kafir terhadap dunia. Dengan
sikap ini kaum muslimin banyak memperoleh anugerah kemenangan dakwah di
berbagai tempat.
Orang-orang
kafir amat takut terhadap orang-orang yang beriman yang memiliki
prinsip ini. Sehingga mereka berupaya agar sifat berani tidak bersemayam
dalam diri orang-orang mukmin. Lalu mereka takut-takuti kaum muslimin
dengan situasi dan kondisi masa depan yang suram, ancaman, teror,
intimidasi atau tekanan-tekanan lainnya agar umat ini tidak lagi berani
memperjuangkan nilai dan norma yang diyakininya. Akhirnya timbullah
sikap takut yang luar biasa hingga melemahkan semangat juangnya.
Oleh
karena itu jangan tertipu oleh upaya orang-orang kafir untuk
menghilangkan sifat syaja’ah. Sebab syaja’ah merupakan harga diri
orang-orang beriman. Lantaran sifat itu sebulan sebelum kedatangan kaum
muslimin orang-orang di Babylonia telah lari tunggang langgang mendengar
umat Islam akan tiba di negeri mereka. Sampai-sampai Khalid bin Walid
r.a. menenangkan masyarakat Romawi agar tidak perlu teramat takut pada
kaum muslimin karena kedatangan umat Islam hanya untuk menyerukan Islam
dan mengajak mereka menghamba pada Allah swt. semata.
Asy syaja’ah (keberanian) menjadi salah satu ciri yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah, selain ciri-ciri berupa al-ithmi’nan (ketenangan) dan at-tafaul (optimisme).
Dengan demikian orang yang istiqamahlah akan senantiasa berani, tenang
dan optimis karena yakin berada di jalan yang benar dan yakin pula akan
dekatnya pertolongan Allah. Namun memang tak mudah untuk menjadi orang
yang istiqamah atau teguh pendirian memegang nilai-nilai kebenaran dan
senantiasa berada di jalan Allah. Bahkan Rasulullah saw. mengatakan
bahwa turunnya surat Hud membuat beliau beruban karena di dalamnya ada
ayat (Huud: 112) yang memerintahkan untuk beristiqamah, “Maka
tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu
dan (juga) orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.“
Rasulullah
saw. memahami benar makna istiqamah yang sesungguhnya sampai ketika Abu
Sufyan bertanya hal terpenting apa dalam Islam yang membuatnya tak
perlu bertanya lagi, beliau menjawab, “Berimanlah kepada Allah dan kemudian beristiqamahlah (terhadap yang kau imani tersebut).” (Bukhari). Di
kesempatan lain, Rasulullah saw. juga mengatakan tantangan buat orang
yang istiqamah memegang Islam di akhir zaman, begitu berat laksana
menggenggam bara api.
Keberanian
untuk tetap istiqamah walau nyawa taruhannya nampak pada diri
orang-orang beriman di dalam surat Al-Buruuj: 4-8 yang dimasukkan ke
dalam parit dan dibakar oleh as-habul ukhdud hanya karena
mereka menyatakan keimanannya kepada Allah swt. Begitu pula Asiah, istri
Firaun dan Masyitah, pelayan Firaun, kedua-duanya harus menebus
keimanan mereka kepada Allah dengan nyawa mereka. Asiah di tiang
penyiksaannya dan Masyitah di kuali panas mendidih beserta seluruh
keluarganya karena mereka berdua tak sudi mentuhankan Firaun. Demikian
sulitnya untuk mempertahankan keistiqamahan di jalan Allah, dan demikian
sulit pula untuk mewujudkan asy syaja’ah sebagai salah satu aspeknya.
Muthallibatu Ad Da’wah (Tuntutan Dakwah)
Dalam mengusung amanah dakwah, slogan ‘Jangan pernah takut, Maju pantang mundur, Berani karena benar, rela mati demi kebenaran’
tidak boleh luntur melainkan harus tetap terpatri dalam sanubari kader
dakwah. Melekatnya doktrin itu, membuat kader dakwah tidak akan lari ke
belakang demi kemenangan dakwah ini. Karena asy syaja’ah (keberanian)
mengemban amanah umat merupakan tuntutan dakwah.
Manakala
Allah swt. berbicara tentang penyelamatan dakwah, maka aspek asy
syaja’ah ini yang selalu disebut-sebut oleh-Nya. Sebagaimana dalam
At-Taubah: 40, ‘Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka
sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir
(musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang
dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata
kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah
beserta kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad)
dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah
menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat
Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’
Di
samping itu sikap syaja’ah para kader menjadi sebab dakwah
berkesimbungan di muka bumi ini. Dengannya dakwah ini berjalan terus
sekalipun harus melewati bukit terjal ataupun tembok besar. Berisiko
berat ataupun ringan. Dengan keberanian para pejuang dakwah, ajaran
Islam ini merambah ke berbagai pelosok dunia bahkan sampai pada diri
kita saat ini. Padahal bila dilihat tantangan dan rintangan yang
dihadapi sangat berat. Tantangan alam, geografis, budaya, maupun
rintangan dari musuh-musuh dakwah. Tanpa keberanian mereka, perjalanan
dakwah ini akan tertatih-tatih lantaran ketakutan yang melemahkan gerak
dakwah ini.
Da’aimu Asy Syaja’ah (Pilar Keberanian)
Karena
sikap asy-syaja’ah merupakan tuntutan dakwah maka para kader mesti
selalu memompa dan menopang keberaniannya agar kata takut dan pengecut
tidak lagi melekat dalam dirinya. Takut dan pengecut tidak boleh ada
dalam memperjuangkan dakwah. Adapun pilar-pilar yang menghantarkan diri
seorang kader memiliki sifat asy-syaja’ah adalah hal-hal berikut ini:
1. Al Iman bil Ghaib (Iman Dengan Yang Ghaib)
Penopang
yang amat kokoh untuk menguatkan sikap asy-syaja’ah dalam diri kader
dakwah adalah memperkuat keyakinannya akan hal-hal yang ghaib. Seperti
yakin akan pertolongan Allah swt. Yakin akan malaikat-malaikat-Nya yang
senantiasa membantu orang yang memperjuangkan agama Allah swt. Begitu
pula yakin akan kehidupan akhirat yang ditentukan oleh amaliyah kita di
dunia ini, khususnya amal-amal dakwah.
Keyakinan
pada hal yang ghaib memunculkan sikap berani, tak takut terhadap apa
yang terjadi. Karena semua yang bakal terjadi telah menjadi ketentuan
dalam kehidupan seseorang. Ia merupakan takdir yang telah ditetapkan.
Sebagaimana pengalaman nyata yang menarik dari seorang kader dakwah yang
diancam atas perjuangannya selama ini. Tatkala di atas kepalanya
ditodongkan pistol. Lalu sang algojo mengatakan, ‘Mana Tuhanmu, Apakah
ia bisa menyelamatkan kamu kalau pelatuk pistol ini kugerakkan. Dan
hancurlah batok kepalamu berkeping-keping. Jawab sang aktivis, Bila
Tuhanku tidak mengizinkan pistol itu meledak maka aku tidak akan mati.
Atau kalaupun pistol itu meledak namun Tuhanku tidak menetapkan aku mati
maka aku pun tidak akan mati’. Jawaban ini sebagai jawaban atas
keyakinan pada Yang Ghaib, yakni Allah swt.
Keyakinan
semacam ini adalah buah dari tarbiyah yag telah menanamkan rasa takut
hanya pada Allah swt. dan senantiasa bergantung pada-Nya. Sehingga kader
memiliki cantolan yang teramat kuat. Lantaran pegangan dirinya kepada
yang Maha Kuat ia tidak pernah mundur menghadapi cobaan dan rintangan
dakwah. Demikianlah hasil dari proses tarbiyah yang panjang, membina
aktivis untuk senantiasa yakin dengan sebenar-benarnya pada kekuatan
yang Ghaib.
Rasulullah
saw. telah mengingatkan Abu Bakar r.a. akan keyakinan pada Rabbul
Izzati. Di saat orang-orang kafir sudah berada di Gua Tsur ingin
membunuhnya. Abu Bakar hingga mencemaskan, “Ya Rasulullah, sekiranya
salah satu dari mereka melihat betisnya maka mereka pasti akan melihat
kita.” Nabi saw. menenangkannya dengan menyatakan, “Duhai Abu Bakar,
apakah kamu mengira kita di sini cuma berdua. Tidak, Abu Bakar. Kita di
sini bertiga. Janganlah takut dan gentar, Allah bersama kita.”
Karenanya
jiwa para kader tidak boleh luput untuk selalu berinteraksi pada Allah
swt. agar dikuatkan diri dan jiwa dalam memperjuangkan dakwah. Karena
kemenangan para pejuang dakwah bukan ditentukan oleh kekuatan material
melainkan kekuatan dari Yang Maha Perkasa.
2. Al Mujahadah Ala Al Khauf (Menaklukkan Rasa Takut)
Rasa
takut sebagai lawan dari asy syaja’ah memang amat manusiawi. Kenyataan
ini merupakan watak alamiyah yang dimiliki setiap insan. Seperti takut
terbakar, tenggelam, terjatuh di mangsa binatang buas dan lain
sebagainya. Namun rasa takut semacam itu harus berada di bawah khauf syar’i yakni
takut kepada Allah swt. Sehingga setiap kader dakwah sepatutnya
menaklukkan rasa takut thabi’inya dengan mengkedepankan rasa takut
kepada Rabbbul Izzati. Dengan begitu mereka akan ringan dalam
memperjuangkan dakwah, tidak maju mundur lantaran ketakutan-ketakutan
yang ada pada dirinya.
Hal
tersebut secara indah dan heroik terlihat gamblang pada kisah Nabi Musa
a.s., Ibrahim a.s., dan Muhammad saw. Rasa takut pada kemungkinan
tenggelam ke laut merah teratasi oleh ketenangan, optimisme, dan
keberanian Nabi Musa a.s. yang senantiasa yakin Allah bersamanya dan
akan menunjukinya jalan. Dan benar saja Allah memberinya jalan keluar
berupa mukjizat berupa terbelahnya laut merah dengan pukulan tongkatnya
sehingga bisa dilalui oleh Nabi Musa dan pengikutnya. Kemudian laut itu
menyatu kembali dan menenggelamkan Firaun beserta tentaranya.
Kisah
yang tak kalah mencengangkannya terlihat pada peristiwa pembakaran Nabi
Ibrahim a.s. Rasa takut thabi’i terhadap api dan terbakar olehnya
teratasi oleh rasa takut syar’i yakni takut kepada Allah saja. Dan subhanallah, pertolongan Allah datang dengan perintah-Nya kepada api agar menjadi dingin dan sejuk serta menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s.
Selayaknya
setiap kader dakwah selalu menundukkan rasa takut insaniyahnya dengan
mendominasikan rasa takut syar’inya. Sehingga yang selalu tertanam dalam
dirinya hanya takut pada Allah semata. Dan tidak pernah gentar akan
kekuatan-kekuatan selain Allah swt.
3. Taurits Al Khairiyah (Mewariskan Hal Yang Terbaik)
Penopang
lainnya adalah dengan mempertimbangkan keadaan generasi berikutnya
harus lebih baik dari sebelumnya. Maka warisan yang ditinggalkan untuk
mereka adalah warisan-warisan kemuliaan. Sehingga mereka mengikuti jejak
para pendahulunya yang mempunyai akhlaq mulia. Bila menginginkan
generasi sesudahnya menjadi pemberani, maka wariskan sifat berani pada
mereka. Namun bila mewariskan sifat takut dan pengecut maka jangan harap
generasi berikutnya menjadi orang-orang yang heroik dan patriotik.
Abul
‘Ala Al Maududi menegaskan bahwa untuk mewariskan keturunan dan
generasi yang lebih baik maka jangan lakukan sifat-sifat rendahan.
Karena itu akan menjadi contoh bagi mereka. Ingatlah kebaikan akan
mewariskan kebaikan dan keburukan akan mewarisi keburukan pula. Oleh
karena itu Allah swt. telah mengingatkan agar memperhatikan nasib
generasi berikutnya dengan mewariskan nilai-nilai kebaikan untuk menjadi
dhawabith khairiyah bagi mereka.
“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An Nisa’: 9)
Adalah
hal yang patut dipikirkan para kader dakwah untuk selalu menanamkan
tekad dan kemauan agar melahirkan generasi yang terbaik dengan selalu
berpegang pada sikap-sikap keteladanan yang di antaranya sikap asy
syaja’ah.
4. As Shabru Ala Ath Tha’ah (Bersabar Terhadap Ketaatan)
Keberanian
akan terus ada pada diri kader bila mereka bersabar. Sabar terhadap
peristiwa yang mereka alami. Karena kesabaran itu merupakan senjata yang
ampuh yang memberikan ketahanan menghadapi tekanan berat sekalipun.
Dengan kesabaran kita pun dapat membandingkan kejadian yang dirasakan
generasi yang lalu dengan yang sedang kita rasakan. Mereka tentu telah
mengalami cobaan yang lebih berat ketimbang yang kita alami saat ini.
Dengan kesabaran ini kita dapat bertahan dan terus maju melangkah di
atas jalan dakwah dengan gagah berani.
Sebagaimana
yang dicontohkan oleh Rasulullah saat menasihati Khabbab bin Al Arts
yang berkeluh kesah atas beratnya penderitaan yang dialaminya, beliau
mengingatkan Khabbab akan perjuangan para Nabi dan orang-orang shaleh
terdahulu yang jauh lebih berat tapi mereka tetap berani dan tabah. Jadi
kita bisa memupuk keberanian dan kesabaran dengan berkata, “Ah… cobaan ini belum seberapa dibanding yang pernah dialami orang-orang shaleh terdahulu.“
Oleh
sebab itu bekal kesabaran tidak boleh dalam keadaan defisit. Kesabaran
mesti dalam kondisi yang selalu cukup dan bertambah. Karena kesabaran
yang kuat menjadi tameng dalam menyelamatkan diri atas cobaan-cobaan
berat dakwah ini. Allah swt. pun mengingatkan agar senantiasa bersabar
dan menguatkan kesabaran.
“Hai
orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu
dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah
kepada Allah supaya kamu beruntung”. (Ali Imran: 200)
5. Al Ajru min Allah (Berharap Balasan Dari Allah)
Seorang
kader juga bisa mengusung dakwah ini dengan berani karena berharap
balasan yang besar dari Allah swt. Balasan yang dijanjikan ini
meminimalkan perasaan takut akan ancaman dalam memperjuangkan dakwah.
Rasa takut akan segera sirna bila balasan yang dijanjikan jauh lebih
besar dari apa yang diderita saat itu. Bahkan balasan yang pasti
diberikan itu dapat memompa semangat juang kader untuk terus berada di
jalan dakwah dan memperjuangkannya sampai titik darah penghabisan. Maka
balasan Allah swt. itu seyogianya tervisualisasi dengan baik pada diri
kader dakwah. Seakan-akan semua balasan itu ada di pelupuk mata.
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka
(dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu
merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang
telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam
kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang
kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.
Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (Fushshilat: 30-32)
Bila
balasan yang dijanjikan Allah swt. senantiasa terngiang-ngiang dalam
benak kader, maka tidak ada alasan untuk takut dan pengecut. Rasulullah
saw. mengingatkan Abdullah bin Harits yang mengungkapkan keinginannya
untuk masuk Islam. Namun ia perlu mengajukan dua syarat yang memang
terjadi pada dirinya. Pertama, tidak dibebankan infak karena dia orang
yang termiskin di keluarga dan kabilahnya dan tidak pula diwajibkan
berperang karena dia seorang yang penakut. Nabi menjawab, “Wahai
Abdullah, bila itu kamu syaratkan lalu dengan apa kamu akan masuk
syurga?” Maka Abdullah menandaskan, “Kalau begitu, ya Rasulullah, aku
akan berinfak dan akan berjuangan di jalan Allah swt.” Begitulah
akhirnya Abdullah bin Harits berada di barisan terdepan di jalan dakwah
tanpa rasa takut dan lemah.
Syaja’ah
atau pemberani tentu saja berbeda dengan bersikap nekat, “ngawur” atau
tanpa perhitungan dan pertimbangan. Asy syaja’ah adalah keberanian yang
didasari pertimbangan matang dan penuh perhitungan karena ingin meraih
ridha Allah. Dan untuk meraih ridha Allah, tentu saja diperlukan
ketekunan kecermatan dan kerapian kerja (itqan). Bukan
keberanian yang tanpa perhitungan yang melahirkan kenekatan, namun juga
bukan terlalu perhitungan dan pertimbangan yang melahirkan ketakutan.
Perwujudan
sikap asy syaja’ah dalam kehidupan ini amatlah banyak terlebih dalam
memperjuangkan dakwah. Implementasinya bisa bermacam-macam. Di
antaranya:
a. Quwwatul Ihtimal (Memiliki Daya Tahan Yang Besar)
Seseorang
dapat dikatakan memiliki sifat berani jika ia memiliki daya tahan yang
besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya
dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
Begitu
banyak orang yang tidak memiliki daya tahan tinggi terhadap segala
tantangan dan kesulitan sehingga mudah surut, menyerah atau
berputus-asa. Padahal dalam kehidupan yang semakin berat dan sulit
dewasa ini begitu banyak tantangan dan marabahaya yang harus disikapi
dan dihadapi dengan berani, karena bersikap pengecut dan melarikan diri
dari persoalan hidup yang berat tidak akan pernah menyelesaikan masalah.
Apalagi dalam perjuangan dakwah untuk mencapai kemenangannya.
Daya
tahan yang besar terhadap tekanan memberikan kemampuan menanggung
beban-beban berat sendirian tanpa menyertakan yang lainnya. Malah ia
ingin saudara-saudaranya tidak boleh mengalami kesulitan lantaran
dirinya. Bila perlu ia yang menanggung penderitaan saudaranya yang lain.
Begitulah kekuatan daya tahan kader dakwah yang patriotik.
Khubaib
bin ‘Ady pernah ditawari Abu Sufyan ketika akan dieksekusi mati. “Wahai
Hubaib, bagaimana kalau dirimu digantikan oleh Muhammad yang akan
menduduki kursi pesakitan itu.” Khubaib menjawab, “Demi Allah yang
diriku dalam genggaman-Nya. Aku tidak akan rela bila Muhammad
menggantikan diriku begini. Kalau sekiranya aku tahu bahwa Muhammad
sekarang ini tertusuk duri, maka aku tidak bisa tenang dan aku beserta
keluargaku akan menggantikannya menderita karena tertusuk duri.” Inilah
daya tahan yang kuat, berani menanggung beban risiko sendirian dan tidak
ingin melibatkan kesulitan dirinya pada saudaranya.
b. As Sharahah fi Al Haq (Berterus Terang pada Kebenaran)
Keterusterangan
dalam kebenaran sebagai indikasi keberanian. Sekalipun hal itu akan
mengundang ekses padanya. Terkadang ada yang tidak bisa menerimanya. Ada
juga yang memusuhinya. Ada pula yang mengancamnya. Bahkan ada pula yang
tidak siap mendengarnya lalu membunuhnya.
Mengatakan
yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang pahit bila dilihat
dari sisi dampak yang bakal muncul. Namun bila dilihat dari sisi manfaat
dan izzah keimanan ia menjadi sebuah keharusan. Sebagaimana sabda Nabi
saw. ‘Qulil haq walau kaana muuran’ (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan keberanian menanggung segala risiko bila kita senantiasa berterus terang dalam kebenaran.
Tidak
sedikit orang tergelincir dalam bersikap lalu ia berdusta atau diam
karena khawatir akan risiko-risikonya. Sikap ini dipilih untuk mencari
jalan selamat. Atau memang ia seorang pengecut dan penakut. Padahal
sangat mungkin penguasa itu mendapatkan hidayah bila seseorang
menyampaikan kebenaran tanpa rasa takut kepadanya. Ada seorang penguasa
zhalim menginsafi dirinya. Sang penguasa menangis atas nasihat yang
diucapkan seorang ulama yang berani memaparkan kebenaran padanya.
Sikap
berani menyampaikan kebenaran yang mengandung risiko berat menjadi
harga diri seorang kader dalam memperjuangkan dakwah. Para musuh tidak
akan menganggap miring pada orang-orang yang mempunyai sikap ini. Malah
mungkin sangat dipandang. Paling tidak sang penguasa akan gentar
menghadapinya.
c. Kitmanu As Sirri (Kemampuan Menjaga Rahasia)
Kemampuan
menyimpan rahasia merupakan bentuk keberanian yang bertanggung jawab.
Orang yang berani adalah orang yang bekerja dengan baik, cermat dan
penuh perhitungan terutama dalam persiapan jihad menghadapi musuh-musuh
Islam termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia dengan
serapat-rapatnya. Sebab kerahasiaan adalah tanggungan yang harus
disimpan dengan baik meski berisiko tinggi. Ia bukanlah sesuatu yang
diumbar-umbar kepada orang yang tidak berhak. Apalagi terhadap
kerahasiaan dakwah. Karena terbongkarnya sebuah kerahasiaan akan
berakibat fatal. Sangat banyak operasional dakwah berantakan karena
tersiarnya rahasia dakwah.
Menyimpan
rahasia bukanlah hal yang gampang. Ia merupakan pekerjaan berat yang
tidak sembarang orang mampu melakukannya. Hanya orang-orang yang berani
dan terampil menyimpan rahasia sajalah yang dapat melakukannya.
Karenanya sahabat Rasulullah saw. yang memiliki kemampuan ini tidaklah
banyak. Mereka adalah sahabat pilihan Nabi saw. untuk bisa menjaganya.
Ada pepatah yang menyatakan bahwa selamatnya manusia tergantung dalam
menjaga lidahnya. Tentu juga termasuk di dalamnya adalah menjaga
kerahasiaan. Ini sangat ditentukan oleh keberanian menanggung beban
akibat dari rahasia yang dipikulnya.
Huzaifah
ibnul Yaman r.a. seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan sebutan
shahibus sirri. Dia dapat menyimpan rahasia dengan baik. Hingga tidak
diketahui yang lain akan tugas dan tanggung jawabnya menjaga rahasia.
Dia berani menghadapi konsekuensinya sekalipun terasa amat berat. Akan
tetapi yang membuat gentar dirinya adalah bila tertangkap musuh.
Sebagaimana yang pernah ia ungkapkan pada Rasulullah saw. “Ya
Rasulullah, saya tidak takut bila harus mati, akantetapi yang aku
takutkan adalah bila aku tertangkap.”
d. Al ‘Itirafu bil Khatha’i (Mengakui Kesalahan)
Salah
satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah tidak mau mengakui
kesalahan, mencari kambing hitam dan bersikap “lempar batu, sembunyi
tangan”. Sebaliknya orang yang memiliki sifat syaja’ah adalah berani
mengakui kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan, dan
bertanggung jawab.
Memang
mengakui kesalahan tidaklah mudah. Kadang ada rasa malu, perasaan takut
dikucilkan, perasaan cemas akan pandangan sinis orang lain karena
kesalahannya. Padahal mengakui kesalahan diri sendiri sangat
menguntungkan. Sebab ia lantas bisa melihat kesalahan dirinya. Ia pun
tidak menyalahkan orang lain. Ia juga akan cepat memperbaiki dirinya.
Dan berani mengakui kesalahannya akan membuka pintu keinsafan
selebar-lebarnya.
Allah
swt. memberikan contoh pelajaran dari sikap Nabi Adam a.s. ketika
melakukan kesalahan, ia tidak limpahkan kesalahan itu pada setan yang
menggodanya. Akan tetapi ia lebih memberatkan dirinya sehingga
terbukalah pintu ampunan untuknya. “Keduanya berkata: “Ya Tuhan
kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami
termasuk orang-orang yang merugi”. (Al ‘Araf: 23)
e. Al Inshafu min Ad Dzati (Bersikap Obyektif Pada Diri Sendiri)
Ada
orang yang cenderung bersikap over estimasi terhadap dirinya,
menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan
serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap under estimasi terhadap
dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa dan
tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak
proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani akan bersikap
obyektif, dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk.
Obyektif
dalam memandang diri sendiri akan membuka kesempatan pada orang lain
untuk ikut berperan serta. Malah ia akan sangat berhajat pada keberadaan
orang lain. Karena ia tahu benar bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa
tanpa partisipasi yang lainnya. Di samping itu ia pun tidak akan
meremehkan kemampuan dirinya. Sehingga ia bisa berbuat lebih banyak
secara optimal dari potensi miliknya.
Umar
bin Abdul Aziz saat diangkat menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan
khalayak rakyatnya. “Aku bukanlah orang yang paling baik dari kalian.
Aku hanyalah manusia seperti kalian akan tetapi aku mendapatkan amanah
yang amat besar melebihi kalian. Karena itu bantulah diriku dalam
menunaikan amanah ini.” Begitulah layaknya orang yang berani memandang
kemampuan dirinya secara obyektif.
f. Milku An Nafsi ‘inda Al Ghadhabi (Menahan Nafsu di saat Marah)
Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah li nafsi,
melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri
dan menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk
melampiaskan amarahnya. Orang yang bisa lakukan itu dipandang sebagai
orang kuat karena kemampuannya menahan amarah.
Amarah
dapat menggelincirkan manusia pada sikap serampangan. Ia akan
kehilangan kontrol diri. Bisa jadi ia lupa diri akan sikapnya yang
keliru. Malah ia tak akan pernah menemukan solusi jitu akan masalahnya.
Oleh karena itu Islam memerintahkan untuk bisa mengendalikan diri dari
amarah. Sampai-sampai Rasulullah saw. mengajarkan untuk tidak amarah
berulang-ulang. Bila masih muncul perasaan itu maka rubahlah posisi
dirinya. Bila juga masih berkobar-kobar maka pergilah dan ambillah
wudhu. Karena rasa marah dari setan. Setan diciptakan dari api. Dan api
bisa mati disiram dengan air.
Keberanian
adalah kelaziman dalam dakwah dan menjadi sikap yang melekat dalam diri
sang kader. Ia adalah identitas pengemban amanah umat untuk bisa
menunaikan tugas berat yang diusungnya. Ingat-ingatlah senandung para
senior dakwah yang menggumankan, “Di dalan hatiku selalu terdengar
suara Nabi yang memerintahkan, ‘Berjihadlah, berjuanglah dan lelahkanlah
dirimu.’ Dan berseru, ‘Menanglah, kalahkanlah musuh dan berlatihlah
jadilah kamu selamanya orang merdeka yang pantang menyerah. Hai pemberani lakukanlah karena kita punya hari esok dan harapan’.”
Wallahu a’lam bishshawwab.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/05/673/berani-di-jalan-dakwah/#ixzz26ihYLbi6
Langganan:
Postingan (Atom)